Senin, 05 November 2012

Manajemen Perikanan Budidaya Payau

I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perikanan merupakan dunia yang kaya akan sumberdaya hayati, dimana begitu banyak komoditi yang menjamin kita untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu kegiatan tersebut adalah kegiatan usaha budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang perikanan tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan laut, budidaya perairan payau dan budidaya perairan tawar. Ketiga usaha budidaya tersebut masing-masing telah berkembang pesat pada masyarakat indonesia saat ini pada umumnya dan masyarakat sulawesi tengah pada khususnya.
Khusus untuk budidaya perairan payau, ramai digalakkan oleh masyarakat saat ini adalah budidaya bandeng dan udang di tambak. Adapun pengertian dari daerah payau itu sendiri adalah merupakan daerah daratan pantai dengan genangan-genangan air, campuran air asin dan air tawar dan biasanya merupakan daerah supralitoral.
Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri sudah dikenal sejak abad ke-14 dan lazim digunakan sebagai wadah pemeliharaan ikan bandeng dan udang, namun tidak banyak mengalami perubahan dalam hal konstruksi dan rancang bangun. Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan konstruksi yang sederhana dan murah, tetapi kuantitas maupun kualitas produksinya cenderung rendah. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka melalui laporan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai usaha budidaya tambak yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Ampibabo, Kab. Parimo, Sulawesi Tengah.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Praktek Lapang Manejemen Perikanan Budidaya Payau bertujuan untuk mengetahui teknik budidaya udang dan bandeng ditambak, kegunaannnya yaitu para mahasiswa dapat melihat secara langsung budidaya ikan dan udang ditambak.

II.  METODE PRAKTEK LAPANG
2.1  Waktu dan Tempat
            Praktek lapang Manajemen Perikanan Budidaya Payau di laksanakan pada hari Sabtu tanggal 5 Mei 2012 pada pukul 07.00 WITA sampai dengan selesai. Bertempat di Desa Tomoli, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parig Moutongi, Sulawesi Tengah.
2.2  Metode Praktek
2.2.1 Pengamatan Langsung
Metode praktek  dengan pengamatan langsung di lakukan dengan cara melihat secara langsung lokasi budidaya.
2.2.2   Wawancara
Metode wawancara di lakukan dengan mewawancarai para pemilik lahan budidaya.
2.2.3   Kepustakaan
Kepustakaan di peroleh dari literatur maupun referensi yang terkait dengan kegiatan budidaya yang di amati.

III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1    Pengenalan Organisme
3.1.1        Ikan Bandeng
Menurut Hadi (2000), Klasifikasi dan ciri morfologi ikan bandeng adalah sebagai berikut :
Kingdom : animalia
Filum : chordata
class : pisces
Ordo :  Gonorynchiformes
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies  : Chanos chanos.
             
Menurut Mansyur (2003), salah satu ciri khas Ikan bandeng yaitu bentuk badan yang langsing berbentuk torpedo, sirip ekor bercabang, berwarna keperak-perakan, mulut terletak di ujung kepala dengan rahang tanpa gigi, lubang hidung terletak di depan mata, mata di selimuti selaput bening.
Ikan bandeng merupakan salah satu ikan primadona para pembudidaya ikan di tambak dan organisme ini tergolong euryhaline atau ikan yang memiliki kemampuan toleransi pada rentang salinitas yang jauh berbeda.  Ikan bandeng aktif mencari makan pada siang hari (diurnal) dengan menjadi konsumen utama di tambak yang memakan alga dan organisme lainnya (Syahid dkk., 2006).
3.1.2        Udang Putih (Litopenaeus Vannamei)
Klasifikasi udang putih menurut Mudjiman (1992), adalah sebagai berikut:
Phylum : Arthropoda
        Class : Crustacea
                Sub class : Malacostraca
                         Ordo : Decapoda
                                   Sub ordo : Dendrobrachiata
                                              Family : Penaeidae
                                                          Genus : Penaeus
                                                                    Sub genus : Litopenaeus
       Species : Litopenaeus vannamei.

Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai ke ekor (abdomen). Bagian kepala ditutupi sebuah kelopak kepala (Cerapace) yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Pada udang windu, gigi rostrum bagian atas biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah, sedangkan untuk udang putih biasanya bagian atas biasanya delapan buah dan bagian bawah lima buah (Syahid dkk, 2006).
            Udang putih yang memang berwarna putih polos dan berkulit tipis (sehingga mudah mati), di luar negeri di kenal sebagai Banana prawn karena putihnya memang agak kuning muda, berbintik-bintik kecil seperti pisang ambon. Di banding jenis lain, udang putih ini lebih banyak jumlahnya. Mereka sudah mati bila masa pemeliharaannya lama (lebih dari 2 bulan), karena peka sekali terhadap perubahan lingkungan (Soesono, 1983).
            Benih udang putih yang dibudidayakan oleh pak naim berasal dari surabaya yang berumur ± 2 minggu dan siap ditebarkan, padat penebaran dalam tiap petakan ± 7.000 ekor/petak. Selama pemeliharaan ikan bandeng tidak diberi pakan buatan hanya pakan alami saja yang ditumbuhkan didalam tambak sebagai makanan utama. Pemberantasan hama selama pemeliharaan dilakukan dengan cara pembersihan secara manual dengan mengunakan tangan, untuk panennya belum diketahui pada umur berapa karena udang yang dibudidayakan masih dalam tahap percobaan/baru dibudidayakan, akan tetapi menurut pak naim apabila udangnya sudah mencapai ukuran konsumsi maka panen dapat dilakukan.
3.2 Metode Budidaya       
Budidaya tambak baik untuk pemeliharaan ikan bandeng maupun udang di indonesia sangatlah luas, terdapat ± 200.000 ha yang dimiliki dan diusahakan oleh petani, namun kebanyakan masih bersifat tradisional. Sejak beberapa tahun terakhir ini, tekhnik intensifikasi tambak telah dikenal secara luas. Namun karena kemampuan permodalan sebagai masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan petani tambak tidak sama, maka perkembangan tekhnik pertambakan yang diterapkan saat ini pun berbeda-beda tingkatannya. Ada tambak yang masih secara sederhana, dengan hasilnya yang masih rendah. Adapula tambak yang telah diusahakan secara intensif dengan masukan modal yang tinggi dan hasilnya pun tinggi.
Berdasarkan hasil yang telah diperoleh di lapangan, dapat dilihat bahwa metode yang digunakan dalam usaha tambak tersebut bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat dari luas petakan tambak dan kedalaman tambak tersebut. dilihat dari kedalaman tambak tersebut yakni kedalamannya kurang dari 1 m, sedangkan kedalaman tambak yang ideal adalah 1,25-1,5 m atau lebih.
Adapun untuk tanah dasar tambaknya lumpur berpasir. Tekstur tanah demikian kurang baik untuk pemeliharaan bandeng dan udang, adapun substrat tanah yang baik untuk tambak adalah dari jenis tanah liat berpasir. Hal demikian sesuai dengan pernyataan dari (Buwono, 1992), di mana tanah dengan tekstur tersebut mudah menahan air dan tidak pecah-pecah bila musim panas tiba.
Yang paling penting dalam usaha budidaya adalah meninjau tentang pengairannya. Air yang diperoleh bisa air payau atau air laut murni asal jumlahnya cukup untuk mengganti air tambak setiap waktu diperlukan. Lanjut  dikatakan oleh Kemur dan amin (2000),  untuk itu suatu tambak perlu adanya pinti air. Pintu air suatu unit tambak terdiri dari pintu air utama dan pintu air petakan. Pintu air utama dipasang di depan saluran pembagi air dan dibangun pada bagian terendah dari unit tambak.
Namun, lebih idealnya lagi apabila di suatu pertambakan dapat diperoleh suplai air laut yang bersih dan juga suplai air tawar yang jernih. Di mana, air tawar ini juga harus bebas dari pencemaran yang dapat membahayakan organisme peliharaan. Di lapangan, sumber air yang diperoleh untuk pertambakan tersebut berasal dari laut dan muara sungai. Adapun untuk pergantian air yang dilakukan di tambak tersebut minimal 2 kali dilakukan dalam sebulan.
Salah satu ciri dari tambak tradisional adalah sudah memiliki 2 buah pintu air masuk dan keluar secara terpisah, namun yang terdapat di lapangan hanya memiliki satu buah pintu air saja baik pintu air masuk maupun keluar. Di mana pada pintu air tersebut dipasang saringan berupa jaring dengan tujuan agar ikan-ikan yang berasal dari sumber air tersebut tidak ikut masuk ke tambak. Terdapatnya satu buah pintu air sangat tidak efisien untuk suatu usaha pertambakan, mengapa demikian karena untuk mencegah akumulasi patogen yang terjadi dalam petakan tambak, maka saluran air yang masuk dan keluar harus dipisahkan (Ahmad, 1998).
Setelah kita mengetahui tentang pengairan dari tambak, maka kita juga perlu mengetahui tentang perlakuan selanjutnya sebelum bandeng dan udang di masukan ke tambak. Adapun yang dilakukan yaitu tanah dasar tambak dikeringkan terlebih dahulu, setelah itu dipupuk dengan menggunakan pupuk urea sebanyak 400 kg /petaknya selama ± 2 minggu. Setelah itu, barulah bibit dari bandeng dan udang tersebut di tebar ke dalam tambak. Adapun padat penebaran untuk tiap petak yaitu 300-400 ekor untuk bandeng dan udang.. Tingkatan padat penebaran tersebut masih begitu rendah.
Penebaran benih udang dan bandeng pada budidaya campuran/polycultur tidak boleh dilakukan bersama.-sama, tetapi terlebih dahulu yang ditebarkan adalah benur (benih udang). Hal ini dimaksudkan untuk memberikan kesempatan pada udang untuk beradaptasi dengan lingkungan tanpa merasa terganggu oleh gerakan ikan bandeng yang gesit. Penebaran dapat dilakukan pada saat suhu rendah yaitu pagi atau sore hari.
Untuk pemberian pakannya tidaklah sulit, karena di tambak tersebut pakan yang diberikan hanya mengandalkan pakan alami yaitu berupa lumut dan klekap, sedangkan untuk pemberian pakan buatan tidak dilakukan. Meskipun sebenarnya untuk metode tradisional plus ini pemberian pakan buatan sudah harus dilakukan, namun kenyataan di lapangan hanya pakan alami saja yang diberikan. Pemberian pakan alami saja merupakan ciri dari metode tradisional, sebagaimana yang dinyatakan oleh Soeseno (1983) bahwa tambak tradisional hanya mengandalkan jenis pakan alami yang terdapat dalam tambak, yaitu berupa klekap (campuran berbagai organisme), plankton dan lumut-lumut, bahkan detritus (kotoran dan bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar tambak.
Selain pemberian pakan, pengontrolan terhadap hama dan penyakit juga perlu dilakukan agar organisme peliharaan kita dapat tumbuh dengan baik. Di lokasi tambak tersebut, dinyatakan oleh petani tambak itu bahwa udang dan bandeng yang dipelihara tidak terkena penyakit, hanya di tambak tersebut terdapat hama berupa burung bangau dan kerang-kerangan. Demikian halnya pernyataan dari (Suyanto, 1995), bahwa golongan hama terbagi menjadi tiga yaitu predator, kompetitor dan pengganggu. Burung dan kerang-kerangan tersebut termasuk ke dalam hama predator. Untuk memberantas hama-hama tersebut dapat digunakan bahan beracun seperti pestisida.
Panen ikan dan udang dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan  3-4 bulan. Pada umur demikian ukuran udang berkisar antara 30-40 gram/ekor dan bandeng sekitar 500 gram/ekor. pemanenan baik ikan maupun udang dilakukan dengan dua cara, yaitu panen sebagian (selektif) dan panen total. Dalam pelaksanan panen total atau panen sebagian, ikan dipanen terlebih dahulu kemudian udang.

IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1    Kesimpulan
            Berdasarkan hasil dan pembahasan yang di peroleh, maka dapat di tarik beberapa kesimpulan, sebagai berikut :
1.    Tambak yang berada di desa Tomoli, hanya membudidayakan 2 jenis organisme, yaitu : udang putih (Litopenaeus vannamei) dan ikan bandeng (Chanos chanos).
2.    Metode budidaya yang digunakan oleh pembudidaya di desa tomoli yaitu metode polycultur anatara ikan bandeng dengan udang vannamei (udang putih).
3.    Jenis tambak yang berada di desa Tomoli, termasuk tambak tradisional
4.2 Saran
Sebagai praktikan, saya menyarankan sebaiknya sebelum melakukan praktek, lokasi harus ditinjau terlebih dahulu agar dalam pelaksanaan praktek dapat berjalan dengan lancar, dan untuk pembudidaya di kecamatan ampibabo, sebaiknya memperhatikan aspek-aspek pendukung untuk kegiatan budidaya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar