BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Indonesia memiliki potensi
laut yang sangat besar dalam usaha budidaya. Potensi ini di dukung oleh
tersediannya bahan dasar yang cukup banyak, persyaratan lingkungan yang baik,
serta kondisi musim yang menguntungkan untuk berbagai jenis komoditas laut yang
akan dibudidayakan. Salah satu potensi laut dari non ikan yang dapat di
budidayakan adalah tiram mutiara (Pinctada maxima) yang pada
intinya akan menghasilkan mutiara.
Budidaya tiram mutiara
sudah cukup lama berkembang di Indonesia. Bahkan sampai pada saat ini ada lebih
65 perusahan, baik dalam bentuk modal asing maupun dalam bentuk modal dalam
negeri. Tuntutan utama dalam budidaya mutiara adalah tersedianya tiram mutiara
ukuran operasi dalam jumlah yang cukup, tepat waktu, dan berkesenambungan.
Namun, keuntungan penyediaan tiram tidak mungkin hanya mengandalkan hasil penyelaman
di alam, apalagi hasil penyelaman di alam sangat fluktuatif, tergantung musim,
dan ukurannya tidak seragam. Mutiara yang ukurannya di bawah standar harus
dipelihara sampai besar sehingga diperlukan waktu dan tambahan biaya yang tidak
sedikit.
Menghadapi situasi yang
demikian sangat perlu diusahakan kegiatan yang mengarah pada kegiatan
penyediaan benih melalui pembenihan buatan di hatchery. Sehingga dapat
menjadi suatu unit budidaya tiram yang akan menghasilkan produksi mutiara yang
jauh lebih besar. Akibat dari keterbatasan ini maka dalam usaha budidaya tiram
mutiara, perlu melakukan kegiatan untuk mempelajari sifat dan kebiasan hidup
tiram mutiara, baik dari persyaratan lingkungan pemeliharaan, metode atau cara
pemeliharaan dan peralatan yang digunakan untuk memproduksi mutiara yang
berkualitas. Mengingat lokasi budidaya di laut yang dipengaruhi oleh alam dan
sekitarnya, sehingga membudidayakan tiram mutiara haruslah menyesuaikan dengan
kondisi alam atau perairan sekitarnya sebagai tempat hidupnya dengan kehidupan
biologis dan fisiologis dari tiram mutiara yang dipelihara, dengan tujuan agar
tiram hidup dengan baik.
B. Tujuan
1.
Mengetahui Metode Pembuatan
Sarana Budidaya.
2.
Mengetahui Teknik Produksi
Tiram Mutiara
3.
Mengetahui Teknik Budidaya
Tiram Mutiara
4.
Mengetahui Jenis dan Teknik
Kultur Pakan Alami Skala Murni dan Semi Massal Phytoplankton yang Digunakan
Sebagai Pakan Larva Tiram Mutiara.
5.
Mengetahui Hama dan
penyakit Tiram mutiara
BAB II
PEMBAHASAN
A. Morfologi
dan Klasifikasi Tiram Mutiara (Pinctada maxima)
Kulit mutiara (Pinctada
maxima) ditutupi oleh sepasang kulit tiram (Shell, cangkan),
yang tidak sama bentuknya, kulit sebelah kanan agak pipih, sedangkan kulit
sebelah kiri agak cembung. Species ini mempunyai diameter dorsal-ventral
dan anterior-posterior hampir sama sehingga bentuknya agak bundar. Bagian
dorsal bentuk datar dan panjang semacam engsel berwarna hitam. Yang berfungsi
untuk membuka dan menutup cangkang. (Winarto, 2004).
Cangkang tersusun
dari zat kapur yang dikeluarkan oleh epithel luar. Sel epitel luar ini
juga menghasilkan kristal kalsium karbonat (Ca CO3) dalam
bentuk kristal argonit yang lebih dikenal sebagai nacre dan kristal heksagonal
kalsit yang merupakan pembentuk lapisan seperti prisma pada cangkang.
Tiram mutiara termasuk
dalam phylum mollusca, phylum ini terdiri atas 6 klas yaitu: Monoplancohora,
Amphineura, Gastropoda, Lamellibrachiata, atau Pellecypoda, seaphopoda, dan
Cephalopoda (Mulyanto, 1987). Tiram merupakan hewan yang mempunyai
cangkang yang sangat keras dan tidak simetris. Hewan ini tidak bertulang
belakang dan bertubuh lunak (Philum mollusca).
Klasifikasi tiram mutiara
menurut mulyanto (1987) dan Sutaman (1993) adalah sebagai berikut :
Kingdom : Animalia
Sub
kingdom : Invertebrata
Philum : Mollusca
Klas : Pellecypoda
Ordo : Anysomyaria
Famili :
Pteridae
Genus
: Pinctada
Spesies : Pinctada maxima
B.
Jenis-jenis Tiram Mutiara
Menurut Dwiponggo (1976),
jenis-jenis tiram mutiara yang terdapat di Indonesia adalah: Pintada maxima,
Pinctada margaritefera, Pinctada fucata, Pinctada chimnitzii, dan Pteria
penguin. Di beberapa daerah Pinctada fucata dikenal juga sebagai Pinctada
martensii. Sebagai penghasil mutiara terpenting adalah tiga spesies, yaitu,
Pinctada maxima, Pinctada margaritifera dan Pinctada martensii.
Sebagai jenis yang ukuran terbesar adalah Pinctada maxima. Untuk
membedakan jenis tiram mutiara tersebut, perlu dilakukan pengamatan morfologi,
seperti warna cangkang dan cangkang bagian dalam (Nacre), ukuran serta
bentuk:
Tabel 1. Perbandingan dari tiga
jenis Pinctada penghasil mutiara yang terpenting
SIFAT-SIFAT
|
P.
Martensii
|
P.
Margaritifera
|
P.
Maxima
|
|
Ukuran
|
Dewasa
Penuh
|
4
inchi
|
7
inchi
|
12
inchi
|
Rata-rata
|
3
inchi
|
6
inchi
|
8
inchi
|
|
Cangkang
|
Kecembungan
|
Cembung
|
Agak
cembung
|
Rata
|
Warna
Luar
|
Abu-abu
kuning
|
Coklat
kehijauan
|
Coklat
kuning
|
|
Garis
Cangkang
|
k.
1.7 coklat ungu
|
Baris
titik-titik
|
Pucat
hanya suatu jejak
|
|
Nacre (interior)
|
Nacre
|
Perak
kehijauan
|
Warna
baja
|
Putih
perak
|
Pinggiran
|
Jingga
kuning
|
Hijau
metalik
|
Kuning
emas
|
|
Garis
engsel
|
Panjangnya
Sedang
|
Pendek
|
Sedang
|
|
Berat
|
60-100
cangkang tiap kan
|
15
cangkang tiap kan
|
9-10
cangkang tiap kan
|
Sumber: Forek Indonesia 2001-2004.
Catatan : 1 kan = 8,267 pon
1 kg = 2,205 pon
C. Anatomi
Tiram Mutiara
Keterangan gambar :
- Gonad 5. Inti
- Hati 6. Mantel
- Perut 7. Otot adductor
- Kaki 8. Otot refractor
Tubuh
tiram mutiara terbagi atas tiga bagian yaitu : Bagian kaki, mantel,
dan organ dalam. Kaki merupakan salah satu bagian tubuh yang bersifat
elastis terdiri dari susunan jaringan otot yang dapat merenggang/memanjang
sampai tiga kali dari keadaan normal. Kaki ini berfungsi sebagai alat bergerak
hanya pada masa mudanya sebelum hidup menetap pada substrat dan juga sebagai
alat pembersih. Pada bagian kaki terdapat bysus, yaitu suatu bagian tubuh yang
bentuknya seperti rambut atau serat, berwarna hitam dan berfungsi sebagai alat
untuk menempel pada suatu substrat yang di sukai (Mulyanto,1987)
D. Biologi
dan Siklus Hidup Serta Reproduksi
Tiram mutiara mempunyai
jenis kalamin terpisah, kecuali pada beberapa kasus tertentu ditemukan sejumlah
individu hermaprodit terjadi perubahan sel kelamin (sel reversal) biasanya
terjadi pada sejumlah individu setelah memijah atau pada fase awal perkembangan
gonad. Fenomena sex reversal pada tiram mutiara (Pinctada maxima) menunjukan
bahwa jenis kelamin pada tiram teryata tidak tetap.
Bentuk gonad tebal
menggembung pada kondisi matang penuh, gonad menutupi organ dalam (seperti
perut, hati, dan lain-lain). Kecuali bagian kaki pada fase awal, gonad jantan
dan betina secara eksternal sangat sulit dibedakan, keduanya berwarna krem
kekuningan. Namun, setelah fase matang penuh, gonad tiram mutiara (Pinctada
maxima) jantan berwarna putih krem, sedangkan betina berwarna kuning tua.
Pada tiram Pinctada fucata warna gonad ini terjadi
sebaliknya.
Menurut Winanto (2004)
bahwa, Tingkat kematangan gonad tiram mutiara dikelompokkan menjadi 5 fase
yaitu :
- Fase I : Tahap tidak aktif/salin/istrahat (Inactife/spent/resting)
Kondisi gonad mengecil dan bening transparan
dalam beberapa kasus, gonad berwarna oranye pucat. Rongga kosong, sel berwarna
kekuningan (lemak). Pada fase ini sangat sulit untuk dibedakan.
- Fase II : Perkembangan/pematangan (Developing/maturing)
Warna transparan hanya terdapat pada bagian
tertentu, material gametogenetik (sel kelamin) mulai ada dalam gonad sampai
mencapai fase lanjut, gonad mulai menyebar di sepanjang bagian posterior
disekitar otot refraktor dan lebih jelas lagi dibagian anterior-dorsal. Gamet
mulai berkembang disepanjang dinding katong gonad. Sebagian besar oocyt (bakal
telur) bentuknya belum beraturan dan inti belum ada. Ukuran rata-rata oocyt 60
μm x 47,5 μm.
- Fase III : Matang (Mature)
Gonad tersebar merata hampir keseluruh
jaringan organ, biasanya berwarna krem kekuningan. Oocyt berbentuk seperti buah
pir dengan ukuran 68 x 50 μm dan inti berukuran 25 μm.
- Fase IV : Matang penuh/memijah sebagian (Fully maturation/partially spawned)
Gonad menggembung, tersebar merata dan secara
konsisten akan keluar dengan sendirinya atau jika ada sedikit-sedikit trigger
(getaran). oosyt bebas dan terdapat diseluruh dinding kantong. Hampir semua
oosyt berbentuk bulat dan berinti, ukuran oosyt rata-rata 51,7 μm.
- Fase V : Salin (Spent)
Bagian permukaan gonad mulai menyusut dan
mengerut dengan sedikit gonad (kelebihan gamet) tertinggal didalam lumen
(saluran-saluran didalam organ reproduksi) pada kantong. Jika ada oosyt maka
jumlahnya hanya sedikit dan bentuknya bulat, ukuran rata-rata oosyt 54,4 μm.
Hasil pengamatan terhadap
fase kematangan gonad dan musim pemijahan Pinctada maxima di teluk
Hurun, Lampung dari tahun 1996-2002 menunjukan bahwa kematangan gonad terjadi
setiap bulan. Namun, fase kematangan gonad penuh (FKG IV) hanya terjadi pada
bulan Maret, Mei, dan Agustus-November. Gonad masa istrahat terjadi pada bulan
Desember. Fase I dan II terjadi hampir sepanjang tahun. Selama 7 tahun
pengamatan, terutama pada bulan April dan Juni, perkembangan gonad tertinggi
hanya sampai FKG II. Sementara FKG III terjadi pad bulan Januari-Maret dan
Juni-Desember (Winanto, 2004).
Pada musim tertentu, induk
tiram mutiara di alam yang telah dewasa akan bertelur. Kemudian, telur-telur
tersebut akan di buahi oleh sel kelamin jantan (sperma). Pembuhan terjadi
secara eksternal didalam air. Telur yang telah di buahi akan mengalami
perubahan bentuk. Mula-mula terjadi penonjolan polar, lalu membentuk polar
lobe II yang merupakan awal proses pembelahan sel, dan akhirnya menjadi multisel.
Tahap berikutnya adalah fase trocofor. Dengan bantuan bulu-bulu getar, trocofor
akan berkembang menjadi veliger (larva berbentuk D) yang ditandai
dengan tumbuhnya organ mulut dan pencernaan. Pada tahap ini larva sudah mulai
makan dan tubuhnya telah di tutupi cangkang tipis. Perkembangan selanjutnya
adalah tumbuh vilum, pada fase ini biasanya larva sangat sensitif terhadap
cahaya dan sering dipermukaan air. Selama fase planktonis, larva biasanya
berenang dengan menggunakan bulu-bulu getar atau hanyut dalam arus air.
Dengan tumbuhnya vilum
larva memasuki stadia umbo, kemudian secara bertahap cangkang juga ikut
berkembang. Bentuk cangkangnya sama mantel sudah berfungsi secara permanen.
Kemudian selanjutnya menjadi podifeliger yang di ikuti tumbuhnya kaki sebagai
akhir stadium planktonis. Gerakan-gerakannya sederhana dari berenang sampai
berputar-putar dilakukan dengan vilum dan kaki. Setelah kaki berfungsi dengan
baik velum akan menghilang, lembar-lembar insang mulai tampak jelas.
Perkembangan akhir larva yaitu perubahan fase plantigrade menjadi spat (bibit)
dan akan menetap. Selanjutnya akan tumbuh berkembang menjadi tiram mutiara
dewasa dan dapat beruba kelaminnya. Banyak ahli yang sependapat bahwa Pinctada
maxima terjadi perubahan kelamin yang bertepatan dengan musim pemijahan
setelah telur atau sperma habis di seburkan keluar, (Mulyanto, 1987).
E. Sistem Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada maxima)
v
Metode Pemeliharaan Tiram
Mutiara
Sarana
pemeliharaan tiram mutiara pada umumnya dilakukan dengan metode pemeliharaan
gantungan (hanging culture method), pada prinsipnya metode ini terdiri
dari alat gantungan dan tempat untuk meletakkan gantungan. Metode pemeliharaan
gantungan dibagi lagi menjadi dua metode yaitu, metode rakit terapung (floating
raft method) dan metode tali rentang (long line method)
1. Metode Rakit Apung (floating raft
method)
Rakit apung selain
berfungsi sebagai pemeliharaan induk, pendederan, dan pembesaran, juga
berfungsi sebagai aklimatisasi (beradaptasi) induk pasca pengangkutan. Menurut
Priyono (1981), pemeliharaan mutiara umumnya dilakukan dengan metode rakit
apung. Cara ini banyak digunakan karena lebih mudah dalam pengawasan serta
hasilnya lebih baik dari pada cara pemeliharaan dasar (botton culture method).
Bahan utama metode ini adalah kayu rakit (kayu atau bambu), pelampung (drum
minyak, fiber glass, styrofoam), tali-tali dan jangkar (Mulyanto, 1987).
2. Metode Tali Rentang (long line method)
Menurut Winanto, et. al.
(1988), bahwa pelampung yang digunakan adalah pelampung dari plastik,
styrofoam, dan fiberglass. Tali rentang yang digunakan adalah dari bahan
polyethelen atau sejenisnya dipasang diantara tali yang satu dengan yang
lainnya yang diberi jarak 5 meter dan panjang tali rentang tergantung dari luas
budidaya. Metode tali rentang dapat diterapkan pada perairan yang dasarnya agak
dalam atau dasar perairan agak keras.
F. Teknik Produksi
Dalam
kegiatan untuk memproduksi spat dapat dimulai jika semua sarana operasional
telah tersedia, terutama pakan hidup dan induk. Hal ini yang perlu disiapkan
lebih dahulu jauh hari sebelum pembangunan fisik dimulai. Kegiatan pembenihan
ini diawali dengan kultur pakan hidup, dalam arti bahwa jumlah pakan yang
dikulturkan harus cukup untuk pakan induk, larva, dan spat. Kegiatan
selanjutnya adalah seleksi induk, pemijahan, pemeliharaan larva, pemeliharaan
spat, dan pendederan.
1. Seleksi induk
Dalam
kegiatan seleksi induk tiram mutiara dapat dilakukan di atas rakit apung di
laut atau di laboratorium. Induk-induk yang akan diseleksi dengan posisi
berdiri atau bagian dorsal di bawah. Kemudian, biasanya induk akan membuka
cangkang karena kekurangan oksigen. Proses pembukaan cangkang hendaknya jangan
dipaksakan karena dapat menyebabkan cangkang pecah. Setelah cangkang terbuka
sebagian , segera digunakan alat pembuka cangkang (shell opener) agar
cangkang terbuka. Selanjutnya, pada cangkang segera dipasang baji dari kayu
sebagai pangganjal agar cangkang tetap terbuka sebagian.
Untuk
melihat posisi gonad, digunakan alat spatula. Dengan spatula, insang di
sibakkan sehingga posisi gonad dapat terlihat dengan jelas dan secara visual
tingkat kematangan dapat diketahui. Secara morfologi, tiram mutiara dewasa dan
telah mencapai matang gonad penuh yaitu (fase IV) dapat diketahui, dengan
kondisi gonad adalah seluruh permukaan organ bagian dalam tertutup oleh gonad,
kecuali bagian kaki (Winanto et al., 2002).
Klasifikasi
tiram mutiara yang memenuhi syarat untuk dijadikan induk berukuran antara 17-20
cm (DVM). Persyaratan yang paling penting adalah tingkat kematangan gonad.
Induk yang berasal dari hatchery, khususnya induk jantan, ada kalanya
berukuran 15 cm (DVM) sudah matang gonad penuh. Induk-induk yang sudah
diseleksi atau sudah memenuhi syarat segera dibawa ke laboratorium untuk
dipijahkan.
Pengelolaan
induk di laboratorium dalam kondisi terkendali telah dilakukan oleh para ahli.
Para ahli tersebut memelihara induk Pinctada maxima di laboratorium
dilakukan di dalam bak fiberglass kapasitas 1 ton. Selama pemeliharaan
digunakan sistem air mengalir dan diberi pakan tambahan fitoplankton.
Aplikasi pakan hidup diberikan dengan variasi komposisi Isocrysis galbana
dan atau Pavlova luthri dengan Tetraselmis tetrathele atau Chaetoceros
sp. dengan perbandingan 1:1. jumlah pakan yang diberikan antara 25.000-
30.000 sel/cc/hari.
2. Pemijahan
Pemijahan
tiram mutiara secara alami sering terjadi pada tiram yang telah dewasa. Dalam
kondisi gonad matang penuh, tiram akan segera memijah jika terjadi perubahan
lingkungan perairan walaupun sedikit. Kemungkinan lain adalah shock mekanik
yang terjadi karena perlakuan kasar pada saat cangkang dibersihkan atau akibat
perbedaan tekanan. Lalu dibawah ke tempat budidaya yang relatif dangkal
sehingga memacu tiram untuk memijah.
Menurut
Winanto (2004) rekayasa pemijahan perlu dilakukan jika secara alami tiram tidak
mau memijah di dalam bak pemijahan. Ada dua metode yang digunakan dalam perlakuan
pemijahan, yaitu metode manipulasi lingkungan dan metode rangsangan kimia.
a.
Metode manipulasi Lingkungan
Metode
pertama manipulasi lingkungan yang biasa di gunakan dan resiko kegagalannya
relatif kecil adalah metode kejut suhu (thermal shock), fluktuasi
suhu, dan ekspose. Metode kejut suhu dilakukan dengan cara, jika suhu air di
tempat pemijahan mulanya sekitar 28ºC di tinggikan menjadi 35ºC, ini di
naikkan secara bertahap dengan bantuan alat pemanas (heater).
Induk-induk akan memijah setelah 60-90 menit dari perlakuan. Biasanya yang
lebih dulu memijah adalah induk jantan dan di susul oleh induk betina. Sperma
yang keluar seperti asap berwarna putih.
Metode
yang ke dua adalah fluktuasi suhu, jika suhu awal tempat pemijahan sekitar
28ºC di tinggikan menjadi 33-45ºC . jika induk belum memijah setelah
60-90 menit maka suhu di turunkan kembali ke suhu awal, perlakuan ini di
lakukan terus-menerus sampai induk memijah.
Metode yang ketiga yaitu
metode ekspose juga sering di lakukan dan ada kalanya di kombinasikan dengan
metode kejut suhu. Induk di letakkan di tempat teduh, lalu di biarkan selama
30-45 menit, pada kondisi tertentu, misalnya induk belum mencapai fase matang
gonad (fase III) maka perlu di lakukan ekspose lebih lama, bisa mencapai 1-2 jam.
Setelah masa ekspose, induk di kembalikan lagi ke tempat bak pemijahan. Pada
kasus ini bisa di kombinasi antara metode ekspose dengan metode kejut suhu atau
fluktuasi suhu.
b. Rangsangan kimia
Dalam
pemijahan dengan menggunakan bahan kimia juga sering di lakukan, tetapi hasil
pembuahan (fertilisasi) biasannya kurang baik. Seperti halnya manipulasi
lingkungan, dengan bahan kimia juga bertujuan untuk merubah lingkungan mikro
tempat pemijahan. Secara ekstrim bahan kimia dapat dengan segera merubah lingkungan
pH air menjadi asam atau basa, yamg bertujuan memberikan shock fisiologis pada
induk sehingga terpaksa mengeluarkan sel-sel gonadnya (Winanto, 2004). Jenis
bahan kimia yang umum di gunakan antara lain hydrogen peroksida (H2O2),
natrium hidroksida (NaOH), ammonium hidroksida (NH4OH), amoniak (NH4),
dan larutan tris (trace buffer).
Tabel 2. Perkembangan Pinctada
maxima setelah telur di buahi.
Waktu setelah
Pembuahan
|
Temperature air (ºC)
|
Perkembangan
|
15 menit
|
28
|
Penonjolan polar body I
|
25 menit
|
28
|
Penonjolan polar body II
|
40 menit
|
9
|
Penonjolan
polar lobe I, permulaan cleavage
|
45 menit
|
30
|
Stage 2 sel
|
1 jam
|
30
|
Stage 4 sel
|
1½ jam-3 jam
|
28-30
|
Stage 8 sel
|
2½ jam-3½ jam
|
27-30
|
Stage morula
|
3½ jam-4 jam
|
27-31
|
Blastula mulai megadakan rotasi
|
permulaan gastrula5½
jam28-30Perkembangan flagelata apical7½ jam28-30Kulit tiram hampir menutupi
tubuh18½ jam-19 jam26-30 (D shape)
G. Manajemen Pakan
Kultur
Phytoplankton
Pakan alami untuk tiram
mutiara yaitu jenis-jenis flagelata berukuran ≤ 10 µ. Beberapa jenis mikroalga
yang umum di berikan untuk larva tiram mutiara yaitu : Isocrysis galbana,
Pavlova lutheri, Chaetocheros. Sp, Nannoclorophysis. Sp, dan Tetraselmis
chuii.
Pemeliharaan pakan alami
ini dilakukan secara bertahap, hal ini untuk menjaga kualitas, kuantitas serta
kemurnian pakan alami tersebut. Yang dilakukan dengan menggunakan media agar,
setelah terbentuk koloni baru dipindahkan ke dalam tabung reaksi. Secara
bertahap, koleksi, isolasi dan perbanyakan meliputi kultur murni, semi masal
dan masal (Winanto, 2004). Air laut yang digunakan sebagai media pemeliharaan
harus melewati saringan ukuran mikro dan saringan kapas, selanjutnya
disterilisasi dengan Autoclav. Komposisi pupuk yang di gunakan adalah sebagai
berikut :
Tabel 3. Komposisi pupuk untuk
kultur plankton.
No
|
Jenis
pupuk
|
Dosis
(conway)
|
Dosis
(guillard)
|
1
|
EDTA
|
45
gram
|
10
gram
|
2
|
NaH2PO42H2O
|
20
gram
|
10
gram
|
3
|
FeCI36H2O
|
1,5
gram
|
2,9
gram
|
4
|
H3BO3
|
33,6
gram
|
3,6
gram
|
5
|
MnCI2
|
0,36
gram
|
-
|
6
|
NaNO3
|
100
gram
|
3,6
gram
|
7
|
Na2SiO39H2O
|
-
|
100
gram
|
8
|
Trace
Matel Solution
|
1
ml
|
5
gram/30 ml
|
9
|
Vitamin
|
1
ml
|
1
ml
|
10
|
Aquades
sampar
|
1000
ml
|
1000
ml
|
Sumber
: Ditjenkan, 2002
Makanan utama larva tiram
mutiara adalah jenis alga Isocrysis galbana dan Monocrysis
lutheri, sehingga pakan ini perlu disiapkan sebagai makanan awal dari larva
dan harus dilakukan tiga hari sebelum larva menetas.
1. Kultur murni
Kultur murni pada skala
laboratorium dapat menggunakan pupuk atau media Guillard Conway.
Pemeliharaan plankton pada skala laboratorium dilakukan secara bertahap. Hal
ini untuk menjaga kemurnian dan kualitas stok. Untuk kultur murni dapat
digunakan cawan Petri dengan media agar. Setelah berbentuk koloni, diamati
dengan mikroskop untuk mengetahui apakah terjadi kontaminsi dengan jenis lain
atau tidak. Jika masih terkontaminasi maka harus dilakukan pemurnian ulang
sehingga didapatkan koloni satu spesies atau jenis Phytoplankton yang
diinginkan selanjutnya, dilakukan pemindahan untuk di ukur dalam tabung reaksi
dengan menggunakan tabung reaksi Ose.
Inokulum di dalam tabung
reaksi dapat diperbanyak secara bertahap sampai mencapai pertumbuhan puncak (blooming).
Mulai dipelihara 100 cc, kemudian diperbanyak lagi ke 200 cc, 300 cc, 500 cc
dan 1000 cc. Lama pemeliharaan tergantung pada jenis dan tingkat kepadatan
inokulum. Jika tujuan kultur untuk stok dan mempertahankan kemurnian, dapat
dilakukan kultur tanpa pengudaraan selama 2-3 bulan untuk menghindari
kemungkinan terjadinya kontaminasi. Pada skala laboratorium jenis Isocrysis
galbanai dan Pavlova lutheri dapat dipelihara 5-10 hari dan Chaetoseros
sp dapat dipelihara selama 5-12 hari.Pemeliharaan berikut masih dalam skala
laboratorium pada volume 3-5 liter dengan waktu pemeliharaan 5-7 hari untuk Isocrysis
galbana 4-6 hari untuk Chaetoceros sedangkan untuk Pavlova
lutheri sama dengan Isocrysis galbana. Kultur skala laboratorium ini
dimaksudkan untuk menyediakan inokulum untuk pembenihan skala semi-masal atau
skala 30-80 liter.
2. Kultur semi masal
Pada prinsipnya kultur semi
masal dan masal sama dengan kultur dalam skala laboratorium, hanya volumenya
lebih besar. Untuk kultur semi masal dan masal, air laut yang digunakan cukup
disaring dengan kantong saringan 60-80 mikron. Setelah media air laut disiapkan
pupuk dimasukan kemudian diaduk secara merata atau diberi pengudaraan. Setelah
itu, bibit dimasukan ke dalam media.
Untuk jenis Isocrysis
galbana dan Pavlova luthery yang dipelihara dalam skala laboratorium
dan semi masal akan capai kepadatan optimum setelah 4-6 hari. Kepadatan plankto
yang baik diberikan sebagai pakan, biasanya pada fase pertumbuhan optimum, awal
fase pertumbuhan tetap, atau setelah mencapai kepadatan optimum. Untuk
mengetahui setiap fase pertumbuhan tersebut perlu dilakukan pengamatan setiap
hari, caranya dengan pengambilan sample dan dapat dihitung kepadatannya dengan
menggunakan haemocytometer.
Berikut ini adalah kepadatan optimum beberapa
jenis plankton :
a. Isocrysis galbana
: 9-10 juta sel/cc
b. Pavlova
lutheri
: 11-2 juta sel/cc
c. Tetraselmis tetrathele
: 5-8 juta sel/cc
d. Chaetoceros
sp.
: 4-6 juta sel/cc
Bila kebutuhan pakan alami
dalam jumlah besar maka dapat dilakukan kultur skala masal, misalnya dengan
volume pemeliharaan 1-5 ton. Pada kultur skala masal, kepadatan maksimum akan
dicapai setelah 5-7 hari.Menurut Isnasetyo dan Kurniastuti (1995), pemanenan
phytoplankton harus dilakukan setelah pada saat puncak populasi, sisa zat hara
masih cukup besar sehingga dapat membahayakan organisme pemangsa karena
pemberian phytoplankton pada bak pemeliharaan larva. Apabila pemanenan
terlambat maka telah banyak terjadi kematian phytoplankton sehingga kualitasnya
menurun.
Pemanenan phytoplankton dapat dilakukan 3
cara yaitu sebagai berkut :
- Penyaringan dengan plankton net.
- Pemanenan dengan memindahkan langsung bersama media kultur.
- Cara pengendapan menggunakan bahan kimia, seperti : Sodium hidroksida dan NaOH
3. Penyimpanan bibit murni
Guna untuk kesinambungan
kultur phytoplankton maka perlu dilakukan pemeliharaan stok bibit murni.
Martosudarno dan wulan (1990) berpendapat bahwa untuk menyimpan bibit
phytoplankton lebih lama, dapat disimpan dalam kulkas (< 10º C) dengan
syarat diperiksa setiap minggu atau bulan untuk menjaga mutu phytoplankton
tersebut. Kultur tidak perlu diberi aerasi karena hanya menjadi sumber
kontaminasi.
Kultur phytoplankton dapat
di pelihara dengan beberapa cara sebagai berikut
- Disimpan dalam media agar pada cawan Petri.
- Disimpan pada media agar miring pada tabung reaksi.
- Disimpan dalam media cair pada tabung reaksi.
- Disimpan dalam media cair pada Erlenmeyer.
Penyimpanan stok bibit
murni dalam media agar dapat bertahan sampai 6 bulan. Penyimpanan stok murni
dalam media cair dilakukan dalam tabung reaksi volume 10 ml, diberi pupuk dan
tanpa aerasi tetapi harus dilakukan pengocokan setiap hari. Biakan stok murni
ini diletakkan pada rak kulkas dengan pencahayaan lampu TL. Penyimpanan stok
murni dalam kulkas dapat bertahan selama 1 bulan dan sebiknya segra digunakan
dan diganti dengan stok baru.Kendala yang umum ditemukan dalam kultur
phytoplankton adalah kontaminasi oleh mikroorganisme lain seperti : Protozoa,
bakteri, dan jenis phytoplankton lainnya. Kontaminasi ini dapat bersumber dari
medium (air laut, pupuk, udara atau aerasi, wadah kultur serta inokulum)
H. Pemeliharaan Larva
Pemeliharaan larva hingga
spat dapat berhasil apabila di perhatikan terjadinnya stadia-stadia kritis
(Winanto, 2004). Selama pertumbuhan, larva mengalami tiga masa krisis. Pertama,
pada fase D, yaitu pertama kali larva mulai makan sehingga perlu di
sediakan pakan yang ukurannya sesuai dengan bukaan mulut larva. Kritis kedua,
terjadi pada fase umbo. Kondisi larva sangat sensitif karena mengalami
metamorfosis. Tandanya adalah terdapat penonjolan umbo, terutama fase umbo
akhir atau fase bintik hitam (eye spot) atau fase pedifeliger. Fase
kritis yang terakhir adalah fase pantigride, larva mengalami perubahan
kebiasaan hidup dari sifat plantonis (spatfal) menjadi spat yang
hidupnya menetap (sesil bentik) di dasar.
Larva tiram lebih menyukai
tempat yang gelap atau remang-remang daripada yang terang, untuk itu tempat
pemeliharaan di tutup dengan plastik gelap. Kepadatan yang baik ± 200
ekor/liter, kepadatan yang tinggi akan berpengaruh pada pertumbuhan normal,
bahkan dapat menimbulkan kematian (Sutaman, 1993). Selama pemeliharaan
pergantian air sebanyak 50-100 %, setiap 2-3 hari atau sesuai kebutuhan
(Winanto ec al, 2004).
I. Manajemen Kesehatan /Hama dan Penyakit
Hama dan penyakit dapat menyebabkan
proses budidaya menjadi gagal, pertumbuhan tiram dapat terganggu bahkan dapat
mematikan tiram, untuk itu perlu dilakukan pengendalian. Hama umumnya menyerang
bagian cangkang. Hama tersebut berupa jenis teritip, racing, dan polichaeta
yang mampu mengebor cangkang tiram. Hama yang lain berupa hewan predator,
seperti gurita, bintang laut, rajungan, kerang hijau, teritip, golongan rumpu
laut dan ikan sidat.
Upaya pencegahan dengan cara
membersihkan hama-hama tersebut dengan manual pada periode waktu tertentu.
Penyakit tiram mutiara umumnya disebabkan parasit, bakteri, dan virus. Parasit
yang sering ditemukan adalah Haplosporidium nelsoni. Bakteri yang sering
menjadi masalah antara lain Pseudomonas enalia, Vibrio anguillarum, dan
Achromobacter sp. Sementara itu, jenis virus yang biasanya menginfeksi tiram
mutiara adalah virus herpes. Upaya untuk mengurangi serangan penyakit pada
tiram mutiara antara lain
a)
Selalu memonitor salinitas agar dalam kisaran yang dibutuhkan untuk menjaga
kesehatan tiram,
b)
Menjaga agar fluktuasi suhu air tidak terlalu tinggi, seperti pemeliharaan
tiram tidak terlalu dekat kepermukaan air pada musim dingin,
c)
Lokasi bodi daya dipilih dengan kecerahan yang cukup bagus, dan
d) Tidak memilih lokasi pada
perairan dengan dasar pasir berlumpur.
J. Manajemen Kualitas Air
1.
Faktor Ekologi
Beberapa faktor yang
mempengaruhi pertumbuhan dan kelangsungan hidup tiram, diantaranya kualitas
air, pakan, dan kondisi fisiologis organisme. Batasan faktor ekologi yang dapat
digunakan untuk mengevaluasi lokasi budidaya adalah :
a.
Lokasi
Lokasi usaha untuk budidaya
tiram mutiara ini berada di perairan laut yang tenang. Pemilihan lokasi
pembenihan maupun budidaya berada dekat pantai dan terlindung dari pengaruh
angin musim dan tidak terdapat gelombang besar. Lokasi dengan arus tenang dan
gelombang kecil dibutuhkan untuk menghindari kekeruhan air dan stress
fisiologis yang akan mengganggu kerang mutiara, terutama induk.
b.
Dasar
Dasar perairan sebaiknya
dipilih yang berkarang dan berpasir. Lokasi yang terdapat pecahan-pecahan
karang juga merupakan alternatif tempat yang sesuai untuk melakukan budidaya
tiram mutiara.
c. Arus
Arus tenang merupakan
tempat yang paling baik, hal ini bertujuan untuk menghindari teraduknya pasir
perairan yang masuk ke dalam tiram dan mengganggu kualitas mutiara yang
dihasilkan. Pasang surut air juga perlu diperhatikan karena pasang surut air
laut dapat menggantikan air secara total dan terus-menerus sehingga perairan
terhindar dari kemungkinan adanya limbah dan pencemaran lain.
d.
Salinitas
Dilihat dari habitatnya,
tiram mutiara lebih menyukai hidup pada salinitas yang tinggi. Tiram mutiara
dapat hidup pada salinitas 24 ppt dan 50 ppt untuk jangka waktu yang pendek,
yaitu 2-3 hari. Pemilihan lokasi sebaiknya di perairan yang memiliki salinitas
antara 32-35 ppt. Kondisi ini baik untuk pertumbuhan dan kelangsungan hidup
tiram mutiara.
e.
Suhu
Perubahan suhu memegang
peranan penting dalam aktivitas biofisiologi tiram di dalam air. Suhu yang baik
untuk kelangsungan hidup tiram mutiara adalah berkisar 25-30 0C.
Suhu air pada kisaran 27 – 31 0C juga dianggap layak untuk tiram
mutiara.
f.
Kecerahan
Kecerahan air akan
berpengaruh pada fungsi dan struktur invertebrata dalam air. Lama penyinaran
akan berpengaruh pada proses pembukaan dan penutupan cangkang (Winanto, et.
al. 1988). Cangkang tiram akan terbuka sedikit apabila ada cahaya dan
terbuka lebar apabila keadaan gelap. Menurut Sutaman (1993), untuk pemeliharaan
tiram mutiara sebaiknya kecerahan air antara 4,5-6,5 meter. Jika kisaran
melebihi batas tersebut, maka proses pemeliharaan akan sulit dilakukan. Untuk
kenyamanan, induk tiram harus dipelihara di kedalaman melebihi tingkat kecerahan
yang ada.
g.
pH
Derajat keasaman air yang
layak untuk kehidupan tiram pinctada maxima berkisar antara 7,8- 8,6 pH agar
tiram mutiara dapat tumbuh dan berkembang dengan baik. Pada prinsipnya, habitat
tiram mutiara di perairan adalah dengan pH lebih tinggi dari 6,75. Tiram tidak
akan dapat berproduksi lagi apabila pH melebihi 9,00. Aktivitas tiram akan
meningkat pada pH 6,75 – pH 7,00 dan menurun pada pH 4,0-6,5.
h.
Oksigen
Oksigen terlarut dapat
menjadi faktor pembatas kelangsungan hidup dan perkembangannya. Tiram mutiara
akan dapat hidup baik pada perairan dengan kandungan oksigen terlarut berkisar
5,2-6,6 ppm. Pinctada maxima untuk ukuran 40-50 mm mengkonsumsi oksigen
sebanyak 1,339 l/l, ukuran 50 – 60 mm mengkonsumsi oksigen sebanyak 1,650 l/l,
untuk ukuran 60 – 70 mm mengkonsumsi sebanyak 1,810 l/l.
i.
Parameter lain
1) Fosfat
Kandungan fosfat yang lebih tinggi dari batas
toleransi akan mengakibatkan tiram mutiara mengalami hambatan pertumbuhan.
Fosfat pada kisaran 0,1001-0,1615 g/l merupakan batasan yang layak untuk
normalitas hidup dan pertumbuhan organisme budidaya. Lokasi budidaya dengan
fosfat berkisar antara 0,16-0,27 g/l merupakan kandungan fosfat yang baik untuk
budidaya mutiara.
2) Nitrat
Kisaran nitrat yang layak untuk organisme yang dibudidayakan sekitar
0,2525-0,6645 mg/l dan nitrit sekitar 0,5-5 mg/l. Konsentrasi nitrit 0,25 mg/l
dapat mengakibatkan stres dan bahkan kematian pada organisme yang dipelihara.
3)
Amoniak Batas toleransi organisma akuatik terhadap
amoniak berkisar antara 0,4-3,1 g/l. Pada kisaran yang lebih tinggi dari angka
tersebut dapat mengakibatkan gangguan pernafasan dan akhirnya mengakibatkan
kematian pada organisme. Pemilihan lokasi juga harus terhindar dari polusi dan
pencemaran air, misalnya pencemaran yang berasal dari limbah rumah tangga,
limbah pertanian, dan limbah industri. Pencemaran air akan mengakibatkan
kematian, baik spat maupun induk tiram mutiara. Selain itu kegiatan mulai dari
pembenihan sampai dengan budidaya induk tiram dapat dipilih lokasi di sekitar
pantai yang berdekatan dengan lokasi tempat tinggal pengelola usaha budidaya.
Hal ini untuk kemudahan dalam pengangkutan dan pemindahan induk tiram mutiara,
sehingga mengurangi risiko kerugian akibat kematian.
2. Faktor Risiko
a. Pencemaran
Lokasi budidaya tiram
mutiara harus berada di lokasi yang bebas dari pencemaran, misalnya limbah
rumah tangga, pertanian, maupun industri. Limbah rumah tangga dapat berupa
deterjen, zat padat, berbagai zat beracun, dan patogen yang menghasilkan
berbagai zat beracun. Pencemaran yang berasal dari kegiatan pertanian berupa
kotoran hewan, insektisida, dan herbisida akan membahayakan kelangsungan hidup
tiram mutiara.
b.
Manusia
Pencurian dan sabotase
merupakan faktor yang juga perlu dipertimbangkan dalam menentukan lokasi
budidaya mutiara. Risiko ini terutama pada saat akan panen atau setelah satu
tahun penyuntikan inti mutiara bulat (nucleus).
K. Teknik Budidaya Tiram
Mutiara (Pinctada maxima)
Teknis Budidaya Tiram Mutiara (Pinctada
maxima)
Pada prinsipnya, untuk
dalam keberhasilan pemeliharaan tiram mutiara untuk menghasilkan mutiara bulat
baik kualitas maupun kuantitas sangat ditentukan oleh proses penanganan tiram
sebelum operasi pemasangan inti, saat pelaksanaan operasi, pasca operasi dan
ketrampilan dari teknisi serta sarana pembenihan tiram yang memadai. Pada
umumnya tiram mutiara yang akan dioperasi inti mutiara bundar berasal dari
hasil penangkapan dialam yang dikumpulkan dari kolektor dan nelayan. Namun ukuran
cangkang mutiara terdiri dari macam-macam ukuran yang nantinya disortir menurut
ukuran besarnya mutiara, hal inilah yang menjadi penyebab sehingga tidak dapat
melaksanakan operasi dalam jumlah yang banyak. Sedangkan hasil pembenihan dari hatchery
dapat diperoleh ukuran yang relatif seragam ukurannya sehingga dapat dilakukan
operasi pemasangan inti mutiara dalam jumlah yang banyak. Namun produksi benih
belum dapat dikembangkan secara masal. Pemeliharaan spat tiram disesuaikan
dengan kondisi perairan disekitarnya. Pemeliharaan benih (spat) yang
masih kecil berukuran dibawah 5 cm dipelihara pada kedalaman 2-3 cm sedangkan
spat dengan ukuran di atas 5 cm dipelihara pada kedalaman lebih dari 4 cm
(Sutaman, 1993).
1. Penanganan Tiram Sebelum Operasi Pemasangan Inti Mutiara
Dengan demikian kalau kita tinjau mengenai
terjadinya mutiara, untuk saat ini dapat dibagi menjadi dua yaitu:
- Mutiara asli yang terdiri dari mutiara alam (natural pearl) dan mutiara pemeliharaan (cultured pearl).
- Mutiara tiruan/imitasi (imitation pearl) (Dwiponggo, 1976).
Mutiara pemeliharaan
Sebelum proses penanganan
tiram mutiara (Pinctada maxima) untuk pemasangan inti mutiara, harus
dilakukan beberapa proses yaitu sebagai berikut:
a.
Seleksi bibit
Benih tiram mutiara dari
hasil penyelaman (natural) maupun dari hasil pembenihan (breeding)
diseleksi untuk mencari tiram yang telah siap untuk dioperasi pemasangan inti.
Menurut Sutaman (1993), bahwa benih siap operasi adalah tiram yang
kondisinya sehat, tidak cacat, telah berumur 2-3 tahun jika benih itu di dapat
dari usaha budidaya dan berukuran diatas 15 cm jika benih tersebut didapat dari
hasil penangkapan. Benih tiram mutiara yang telah terkumpul dari hasil seleksi
untuk dioperasi harus dipelihara dalam rakit pemeliharaan khusus supaya
memudahkan dalam penanganan saat operasi akan berlangsung.
b.
Ovulasi buatan
Ovulasi buatan bertujuan
agar pada saat operasi tiram mutiara tidak sedang dalam keadaan matang telur,
karena tiram yang matang telur jaringan tubuhnya sangat peka terhadap
rangsangan dari luar, sehingga inti yang di pasang akan dimuntahkan kembali.
Ovulasi buatan ini merupakan kegiatan yang sengaja dilakukan untuk memaksa
tiram mutiara agar mengeluarkan telur atau spermanya. Menurut Mulyanto (1987),
bahwa cara ovulasi buatan yaitu dengan menaik turunkan keranjang pemeiharaan
kedalam air dengan cepat sampai telur atau sperma keluar dari tiram.
Selain dari perlakuan
menaik turunkan keranjang pemeliharaan tiram, kegiatan lain yang dilakukan
yaitu masa pelemasan tiram (yukuesey) dimana tiram mutiara yang siap
operasi di kurangi jatah pakannya dan membatasi ruang geraknya sehingga tiram
menjadi lemah dan kepekaannnya menjadi berkurang pada saat inti dimasukkan
(Mulyanto, 1987).
c.
Pembukaan cangkang
Setelah tiram mutiara
diistrahatkan selama 1 hari setelah proses ovulasi buatan selanjutnya dlakukan
proses pembukaan cangkang tiram mutiara. Dalam kegiatan ini ada 3 cara yang
sering digunakan untuk memaksa tiram secara alami membuka cangkangnya yaitu
dengan merendamnya dalam air dengan kepadatan yang tinggi, sirkulasi air dan
cara yang terakhir yaitu pengeringan (Winanto, et. al. 1988).
Setelah cangkang terbuka
akibat dari perlakuan ini, cangkang tersebut segera ditahan dengan forsep dan
di pasang baji pada mulut tiram supaya cangkang selalu dalam keadaan terbuka.
Selanjutnya 1 jam sebelum operasi, tiram-tiram tersebut diletakkan didalam
dulang dengan bagian engsel atau dorsal disebelah bawah (Sutaman, 1993).
2. Operasi Pemasangan Inti Mutiara Bulat
Untuk menghasilkan mutiara pada tiram ada dua
cara yang umum di lakukan dalam operasi pemasangan inti mutiara yaitu:
a. Pemasangan inti mutiara bulat
b. pemasangan inti mutiara setengah bulat (blister).
Operasi pemasangan inti
mutiara bulat merupakan bagian terpenting dalam menentukan keberhasilan
pembuatan mutiara bulat. Ada beberapa cara yang perlu dilakukan dalam operasi
pemasangan inti mutiara bulat adalah sebagai berikut:
1) Sebelum
pemasangan inti, tiram siap operasi di kumpulkan diatas meja operasi.
2) Membuat
potongan mantel dengan pengambilan mantel dari tiram donor dan mengguntingnya
sekitar lebar 5 mm dan panjang 4 cm. kemudian mantel dipotong membentuk bujur
sangkar dengan sisi-sisi 4 mm (Sutaman, 1993). Menurut Tun dan Winanto (1988),
mantel yang diambil hendaknya dipilih tiram yang mudah dan aktif.
3) Pemasangan
inti mutiara bulat.
Dalam pemasangan inti perlu
diperhatikan ukuran inti yang akan dipasang. Umumnya ukuran inti mutiara yang
dimasukkan kedalam gonad tiram mutiara jenis Pinctada maxima yaitu
berkisar antara 3,03-9,09 mm (Mulyanto, 1987).
3. Penangannan Tiram Pasca Operasi
Menurut Mulyanto (1987),
mengemukakan bahwa pemeliharaan tiram mutiara pasca operasi sangat menentukan
penyembuhan dan pembentukan mutiara yang dihasilkan. Setelah tiram dioperasi,
dengan cepat dan hati-hati dimasukkan kembali kedalam air dan digantung pada
rakit pemeliharaan yang letaknya paling dekat rumah operasi dan pada tempat
yang pergerakan airnya paling kecil. Tiram memerlukan waktu istrahat yang cukup
1-3 bulan untuk menyembuhkan luka shock akibat dari operasi pemasangan inti.
Setelah masa penyembuhan,
dilakukan pemeriksaan terhadap tiram untuk mengetahui apakah inti yang telah
dipasang masih dalam posisi semula atau dimuntahkan. Tiram yang akan diperiksa
di tahan dengan baji lalu diletakkan pada shell holder dan diperiksa.
Apabila inti masih berada didalam, maka bagian tersebut akan kelihatan sedikit
menonjol (Winanto, et. al., 1988)
Pemeriksaan inti mutiara
yang dilakukan oleh perusahan-perusahan yang berskala besar dilakukan dengan
cara menggunakan alat rontgen. Pemeriksaan dengan alat ini dilakukan sekitar 45
hari setelah masa tento terakhir atau kurang lebih 3 bulan setelah pemasangan
inti. Tiram yang masih terdapat inti didalam cangkangnya dalam posisi semula
dipelihara kembali hingga waktu panen tiba. Tiram yang memuntahkan intinya dan
kondisi tubuhnya masih baik dapat diulangi pemasangan inti mutiara bulat atau
setengah bulat (blister) (Mulyanto, 1987).
L. Panen
Menurut Mulyanto (1987), bahwa setelah masa pemeliharaan 1,5-2 tahun
sejak operasi pemasangan inti maka tiram dapat dipanen dengan kecermatan dan
ketepatan yang benar agar hasil mutiara dapat berkualitas baik. Menurut Tun dan
Winanto (1988), di Indonesia panen akan lebih baik menguntungkan apabila
dilakukan pada saat musim hujan, karena untuk mengurangi mortalitas pada waktu
pemasangan inti mutiara bulat kedua. Tekanan tinggi, suhu rendah dan relatif
konstan serta suasana remang-remang dapat menyebabkan sel penghasil nacre lebih
aktif mensekresikan nacre, sehingga kilau dan warnanya lebih baik walaupun
pelapisan nacrenya berlangsung lebih lambat.
Cara pemanenan dapat
dilakukan sebagai berikut : tiram yang sudah dipanen diletakkan di atas meja
operasi. Kemudian bagian mantel dan insang yang menutupi gonad disisihkan
sehingga mutiara akan kelihatan dan tampak menonjol dengan sedikit bercahaya.
Lalu dibuat sayatan pada organ tersebut seperti pada saat pemasangan inti itiara
bulat, maka mutiara dengan mudah dapat dikeluarkan dari gonad tiram.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar