I. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Dunia perikanan merupakan dunia yang
kaya akan sumberdaya hayati, dimana begitu banyak komoditi yang menjamin kita
untuk melakukan berbagai kegiatan ekonomis di dalamnya, salah satu kegiatan
tersebut adalah kegiatan usaha budidaya. Adapun usaha budidaya dalam bidang
perikanan tersebut terbagi menjadi tiga bagian yaitu usaha budidaya perairan
laut, budidaya perairan payau dan budidaya perairan tawar. Ketiga usaha
budidaya tersebut masing-masing telah berkembang pesat pada masyarakat
indonesia saat ini pada umumnya dan masyarakat sulawesi tengah pada khususnya.
Khusus untuk budidaya perairan
payau, ramai digalakkan oleh masyarakat saat ini adalah budidaya bandeng dan
udang di tambak. Adapun pengertian dari daerah payau itu sendiri adalah
merupakan daerah daratan pantai dengan genangan-genangan air, campuran air asin
dan air tawar dan biasanya merupakan daerah supralitoral.
Tekhnisnya untuk tambak itu sendiri
sudah dikenal sejak abad ke-14 dan lazim digunakan sebagai wadah pemeliharaan
ikan bandeng dan udang, namun tidak banyak mengalami perubahan dalam hal
konstruksi dan rancang bangun. Dalam hal ini tambak dapat dibuat dengan
konstruksi yang sederhana dan murah, tetapi kuantitas maupun kualitas
produksinya cenderung rendah. Dengan memperhatikan hal-hal tersebut, maka
melalui laporan ini akan dibahas lebih lanjut mengenai usaha budidaya tambak
yang dilakukan oleh masyarakat di daerah Ampibabo, Kab. Parimo, Sulawesi
Tengah.
1.2 Tujuan dan Kegunaan
Praktek
Lapang Manejemen Perikanan Budidaya Payau bertujuan untuk mengetahui teknik
budidaya udang dan bandeng ditambak, kegunaannnya yaitu para mahasiswa dapat
melihat secara langsung budidaya ikan dan udang ditambak.
II. METODE PRAKTEK LAPANG
2.1 Waktu dan Tempat
Praktek
lapang Manajemen Perikanan Budidaya Payau di laksanakan pada hari Sabtu tanggal
5 Mei 2012 pada pukul 07.00 WITA sampai dengan selesai. Bertempat di Desa
Tomoli, Kecamatan Ampibabo, Kabupaten Parig Moutongi, Sulawesi Tengah.
2.2 Metode Praktek
2.2.1
Pengamatan Langsung
Metode praktek dengan pengamatan langsung
di lakukan dengan cara melihat secara langsung lokasi budidaya.
2.2.2 Wawancara
Metode wawancara di lakukan dengan
mewawancarai para pemilik lahan budidaya.
2.2.3 Kepustakaan
Kepustakaan
di peroleh dari literatur maupun referensi yang terkait dengan kegiatan
budidaya yang di amati.
III. HASIL DAN PEMBAHASAN
3.1 Pengenalan Organisme
3.1.1
Ikan Bandeng
Menurut Hadi (2000), Klasifikasi dan ciri morfologi ikan
bandeng adalah sebagai berikut :
Kingdom : animalia
Filum
: chordata
class : pisces
Ordo :
Gonorynchiformes
Famili : Chanidae
Genus : Chanos
Spesies
: Chanos chanos.
Menurut Mansyur (2003),
salah satu ciri khas Ikan bandeng yaitu bentuk
badan yang langsing berbentuk torpedo, sirip ekor bercabang, berwarna
keperak-perakan, mulut terletak di ujung kepala dengan rahang tanpa gigi,
lubang hidung terletak di depan mata, mata di selimuti selaput bening.
Ikan bandeng merupakan
salah satu ikan primadona para pembudidaya ikan di tambak dan organisme ini
tergolong euryhaline atau ikan yang memiliki kemampuan toleransi pada rentang
salinitas yang jauh berbeda. Ikan
bandeng aktif mencari makan pada siang hari (diurnal) dengan menjadi konsumen
utama di tambak yang memakan alga dan organisme lainnya (Syahid dkk., 2006).
3.1.2
Udang
Putih (Litopenaeus Vannamei)
Klasifikasi udang putih menurut Mudjiman (1992), adalah sebagai
berikut:
Phylum
: Arthropoda
Class : Crustacea
Sub class : Malacostraca
Ordo : Decapoda
Sub
ordo : Dendrobrachiata
Family
: Penaeidae
Genus : Penaeus
Sub
genus : Litopenaeus
Species
: Litopenaeus vannamei.
Secara garis besar, tubuh udang dapat dibagi
atas dua bagian utama, yaitu bagian kepala yang menyatu dengan dada (cephalothorax), dan bagian tubuh sampai
ke ekor (abdomen). Bagian kepala
ditutupi sebuah kelopak kepala (Cerapace)
yang di bagian ujungnya meruncing dan bergigi yang disebut dengan cucuk kepala (rostrum). Pada udang windu, gigi
rostrum bagian atas biasanya tujuh buah dan bagian bawah tiga buah, sedangkan
untuk udang putih biasanya bagian atas biasanya delapan buah dan bagian bawah
lima buah (Syahid dkk, 2006).
Udang
putih yang memang berwarna putih polos dan berkulit tipis (sehingga mudah
mati), di luar negeri di kenal sebagai Banana
prawn karena putihnya memang agak kuning muda, berbintik-bintik kecil
seperti pisang ambon. Di banding jenis lain, udang putih ini lebih banyak
jumlahnya. Mereka sudah mati bila masa pemeliharaannya lama (lebih dari 2
bulan), karena peka sekali terhadap perubahan lingkungan (Soesono, 1983).
Benih udang putih yang dibudidayakan
oleh pak naim berasal dari surabaya yang berumur ± 2 minggu dan siap
ditebarkan, padat penebaran dalam tiap petakan ± 7.000 ekor/petak. Selama
pemeliharaan ikan bandeng tidak diberi pakan buatan hanya pakan alami saja yang
ditumbuhkan didalam tambak sebagai makanan utama. Pemberantasan hama selama
pemeliharaan dilakukan dengan cara pembersihan secara manual dengan mengunakan
tangan, untuk panennya belum diketahui pada umur berapa karena udang yang
dibudidayakan masih dalam tahap percobaan/baru dibudidayakan, akan tetapi
menurut pak naim apabila udangnya sudah mencapai ukuran konsumsi maka panen
dapat dilakukan.
3.2 Metode Budidaya
Budidaya tambak baik untuk
pemeliharaan ikan bandeng maupun udang di indonesia sangatlah luas, terdapat ±
200.000 ha yang dimiliki dan diusahakan oleh petani, namun kebanyakan masih
bersifat tradisional. Sejak beberapa tahun terakhir ini, tekhnik intensifikasi
tambak telah dikenal secara luas. Namun karena kemampuan permodalan sebagai
masukan untuk inovasi dan tingkat keterampilan petani tambak tidak sama, maka
perkembangan tekhnik pertambakan yang diterapkan saat ini pun berbeda-beda
tingkatannya. Ada tambak yang masih secara sederhana, dengan hasilnya yang
masih rendah. Adapula tambak yang telah diusahakan secara intensif dengan
masukan modal yang tinggi dan hasilnya pun tinggi.
Berdasarkan hasil yang telah
diperoleh di lapangan, dapat dilihat bahwa metode yang digunakan dalam usaha
tambak tersebut bersifat tradisional. Hal ini dapat dilihat dari luas petakan
tambak dan kedalaman tambak tersebut. dilihat dari kedalaman tambak tersebut
yakni kedalamannya kurang dari 1 m, sedangkan kedalaman tambak yang ideal
adalah 1,25-1,5 m atau lebih.
Adapun untuk tanah dasar tambaknya
lumpur berpasir. Tekstur tanah demikian kurang baik untuk pemeliharaan bandeng
dan udang, adapun substrat tanah yang baik untuk tambak adalah dari jenis tanah
liat berpasir. Hal demikian sesuai dengan pernyataan dari (Buwono, 1992), di
mana tanah dengan tekstur tersebut mudah menahan air dan tidak pecah-pecah bila
musim panas tiba.
Yang paling penting dalam usaha
budidaya adalah meninjau tentang pengairannya. Air yang diperoleh bisa air
payau atau air laut murni asal jumlahnya cukup untuk mengganti air tambak
setiap waktu diperlukan. Lanjut
dikatakan oleh Kemur dan amin (2000), untuk itu suatu tambak perlu adanya pinti
air. Pintu air suatu unit tambak terdiri dari pintu air utama dan pintu air
petakan. Pintu air utama dipasang di depan saluran pembagi air dan dibangun
pada bagian terendah dari unit tambak.
Namun, lebih idealnya lagi apabila
di suatu pertambakan dapat diperoleh suplai air laut yang bersih dan juga
suplai air tawar yang jernih. Di mana, air tawar ini juga harus bebas dari
pencemaran yang dapat membahayakan organisme peliharaan. Di lapangan, sumber
air yang diperoleh untuk pertambakan tersebut berasal dari laut dan muara
sungai. Adapun untuk pergantian air yang dilakukan di tambak tersebut minimal 2
kali dilakukan dalam sebulan.
Salah satu ciri dari tambak
tradisional adalah sudah memiliki 2 buah pintu air masuk dan keluar secara
terpisah, namun yang terdapat di lapangan hanya memiliki satu buah pintu air
saja baik pintu air masuk maupun keluar. Di mana pada pintu air tersebut
dipasang saringan berupa jaring dengan tujuan agar ikan-ikan yang berasal dari
sumber air tersebut tidak ikut masuk ke tambak. Terdapatnya satu buah pintu air
sangat tidak efisien untuk suatu usaha pertambakan, mengapa demikian karena
untuk mencegah akumulasi patogen yang terjadi dalam petakan tambak, maka
saluran air yang masuk dan keluar harus dipisahkan (Ahmad, 1998).
Setelah kita mengetahui tentang
pengairan dari tambak, maka kita juga perlu mengetahui tentang perlakuan
selanjutnya sebelum bandeng dan udang di masukan ke tambak. Adapun yang dilakukan
yaitu tanah dasar tambak dikeringkan terlebih dahulu, setelah itu dipupuk
dengan menggunakan pupuk urea sebanyak 400 kg /petaknya selama ± 2 minggu.
Setelah itu, barulah bibit dari bandeng dan udang tersebut di tebar ke dalam
tambak. Adapun padat penebaran untuk tiap petak yaitu 300-400 ekor untuk
bandeng dan udang.. Tingkatan padat penebaran tersebut masih begitu rendah.
Penebaran benih udang dan bandeng
pada budidaya campuran/polycultur tidak boleh dilakukan bersama.-sama, tetapi
terlebih dahulu yang ditebarkan adalah benur (benih udang). Hal ini dimaksudkan
untuk memberikan kesempatan pada udang untuk beradaptasi dengan lingkungan
tanpa merasa terganggu oleh gerakan ikan bandeng yang gesit. Penebaran dapat
dilakukan pada saat suhu rendah yaitu pagi atau sore hari.
Untuk pemberian pakannya tidaklah
sulit, karena di tambak tersebut pakan yang diberikan hanya mengandalkan pakan
alami yaitu berupa lumut dan klekap, sedangkan untuk pemberian pakan buatan
tidak dilakukan. Meskipun sebenarnya untuk metode tradisional plus ini
pemberian pakan buatan sudah harus dilakukan, namun kenyataan di lapangan hanya
pakan alami saja yang diberikan. Pemberian pakan alami saja merupakan ciri dari
metode tradisional, sebagaimana yang dinyatakan oleh Soeseno (1983) bahwa tambak
tradisional hanya mengandalkan jenis pakan alami yang terdapat dalam tambak,
yaitu berupa klekap (campuran berbagai organisme), plankton dan lumut-lumut,
bahkan detritus (kotoran dan bahan-bahan yang membusuk di dalam air dan dasar
tambak.
Selain pemberian pakan, pengontrolan
terhadap hama dan penyakit juga perlu dilakukan agar organisme peliharaan kita
dapat tumbuh dengan baik. Di lokasi tambak tersebut, dinyatakan oleh petani
tambak itu bahwa udang dan bandeng yang dipelihara tidak terkena penyakit,
hanya di tambak tersebut terdapat hama berupa burung bangau dan
kerang-kerangan. Demikian halnya pernyataan dari (Suyanto, 1995), bahwa
golongan hama terbagi menjadi tiga yaitu predator, kompetitor dan pengganggu.
Burung dan kerang-kerangan tersebut termasuk ke dalam hama predator. Untuk
memberantas hama-hama tersebut dapat digunakan bahan beracun seperti pestisida.
Panen
ikan dan udang dapat dilakukan setelah masa pemeliharaan 3-4 bulan. Pada umur demikian ukuran udang
berkisar antara 30-40 gram/ekor dan bandeng sekitar 500 gram/ekor. pemanenan
baik ikan maupun udang dilakukan dengan dua cara, yaitu panen sebagian
(selektif) dan panen total. Dalam pelaksanan panen total atau panen sebagian,
ikan dipanen terlebih dahulu kemudian udang.
IV. KESIMPULAN DAN SARAN
4.1
Kesimpulan
Berdasarkan
hasil dan pembahasan yang di peroleh, maka dapat di tarik beberapa kesimpulan,
sebagai berikut :
1. Tambak
yang berada di desa Tomoli, hanya membudidayakan 2 jenis organisme, yaitu :
udang putih (Litopenaeus vannamei) dan ikan bandeng (Chanos chanos).
2. Metode
budidaya yang digunakan oleh pembudidaya di desa tomoli yaitu metode polycultur
anatara ikan bandeng dengan udang vannamei (udang putih).
3. Jenis
tambak yang berada di desa Tomoli, termasuk tambak tradisional
4.2
Saran
Sebagai praktikan, saya menyarankan sebaiknya sebelum
melakukan praktek, lokasi harus ditinjau terlebih dahulu agar dalam pelaksanaan
praktek dapat berjalan dengan lancar, dan untuk pembudidaya di kecamatan
ampibabo, sebaiknya memperhatikan aspek-aspek pendukung untuk kegiatan budidaya
Tidak ada komentar:
Posting Komentar