1.1 Latar Belakang
Indonesia
merupakan negara kepulauan dengan berbagai potensi sumberdaya alam yang
melimpah dan belum terkelola dengan baik. Salah satu yang dapat dilakukan untuk
memanfaatkan sumberdaya alam tersebut adalah dengan usaha budidaya
(aquakultur). Usaha budidaya akhir-akhir ini menjadi sesuatu yang banyak
diminati oleh masyarakat, karena memiliki potensi yang cukup besar. Untuk
mewujudkan adanya usaha budidaya dengan produksi yang tinggi tentunya
tergantung pada beberapa faktor, salah satunya adalah factor kualitas air
(Kusuma, 2006)
Budidaya laut merupakan salah satu usaha perikanan dengan
cara pengembangan sumber-dayanya dalam area terbatas baik di alam terbuka
maupun tertutup. Tempat untuk budidaya laut, demikian pula untuk air tawar,
harus mempunyai fasilitas alami tertentu, terutama persediaan air yang sangat
cukup, dengan suhu, salinitas dan kesuburan yang sesuai. Dalam hal ini penting
diperhatikan pula bahwa pengusaha budidaya menjalankan pengawasan melalui
pemilikan, hak sewa menyewa atau cara lain untuk menjalankan pengawasan. Di
Laut sistem demikian menimbulkan masalah, karena orang masih mempunyai pandangan
bahwa laut adalah milik kita bersama.
Berdasarkan sejarah budidaya diberbagai
belahan dunia, dapat disimpulkan bahwa pemilihan lokasi yang tepat merupakan
faktor yang penting dalam menentukan kelayakan usaha budidaya. Meskipun dengan
upaya dan teknologi, beberapa unit yang kurang sesuai dapat dirubah menjadi
menguntungkan atau bahkan terpaksa ditinggalkan setelah menghabiskan dana dalam
jumlah yang besar. Karena itu, pemilihan lokasi mutlak demi keberhasilan
budidaya (Nurdjanna, 2001).
provinsi
Sulawesi tengah merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi untuk kegiatan budidaya terutama budidaya
rumput laut, karena lokasinya yang strategis dan mendukung untuk kegiatan
budidaya rumput laut. Berdasarkan penjelasan di atas, maka dilakukan kegiatanm
praktek di kelurahan Panau dengan tujuan untuk mengetahui teknik budidaya
rumput laut.
1.2
Tujuan dan Kegunaan
Tujuan dari
praktek lapang Pengelolaan Budidaya Wilayah Pesisir Dan Laut adalah untuk
mempelajari pengelolaan budidaya rumput laut, baik dari aspek, sosial, ekonomi,
potensi, produksi, pemasaran, teknis dan lingkungannya. Kegunaanya adalah dapat
mengetahui cara budidaya rumput laut dan mempelajari cara mengukur
parameter-parameter kualitas air.
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Budidaya Rumput Laut
2.1.1 Deskripsi Rumput Laut
Dalam pembangunan di wilayah pesisir,
salah satu pengembangan kegiatan ekonomi yang sedang digalakkan pemerintah
adalah pengembangan budidaya rumput laut. Melalui program ini diharapkan dapat
merangsang terjadinya pertumbuhan ekonomi wilayah akibat meningkatnya
pendapatan masyarakat setempat.
Pengembangan budidaya rumput laut di
Indonesia dirintis sejak tahun 1980-an dalam upaya merubah kebiasaan penduduk
pesisir dari pengambilan sumberdaya alam ke arah budidaya rumput laut yang
ramah lingkungan dan usaha budidaya ini dapat meningkatkan pendapatan
masyarakat pembudidaya juga dapat
digunakan
untuk mempertahankan kelestarian lingkungan perairan pantai (kalther, 2010).
Pengembangan budidaya rumput laut
merupakan salah satu alternative pemberdayaan masyarakat pesisir yang mempunyai
keunggulan dalam hal : (1) produk yang dihasilkan mempunyai kegunaan yang
beragam, (2) tersedianya lahan untuk budidaya yang cukup luas serta (3)
mudahnya teknologi budidaya yang diperlukan (Departemen Kelautan dan Perikanan,
2001).
2.1.2 Biologi Rumput Laut
Rumput laut merupakan ganggang yang
hidup di laut dan tergolong dalam divisio thallophyta. Keseluruhan dari
tanaman ini merupakan batang yang dikenal dengan sebutan thallus, bentuk
thallus rumput laut ada bermacam-macam ada yang bulat seperti tabung,
pipih, gepeng, bulat seperti kantong, rambut dan lain sebagainya. Thallus ini
ada yang tersusun hanya oleh satu sel (uniseluler) atau banyak sel
(multiseluler). Percabangan thallus ada yang thallus dichotomus (duadua
terus menerus), pinate (dua-dua berlawanan sepanjang thallus utama), pectinate
(berderet searah pada satu sisi thallus utama) dan ada juga yang sederhana
tidak bercabang. Sifat substansi thallus juga beraneka ragam ada yang lunak seperti gelatin (gelatinous), keras
diliputi atau mengandung zat kapur (calcareous}, lunak bagaikan tulang
rawan (cartilagenous), berserabut (spongeous) dan sebagainya (Indonetwork,
2007).
Menurut
Anggadireja (2006), klasifikasi rumput laut Eucheuma
cottonii adalah:
Filum : Rhodophita
Kelas
: Rhodopycae
Ordo
: Gigantinales
Famili
: Soliericeae
Genus
: Eucheuma
Spesies:
Eucheuma cottonii
Menurut Laode
(2002) dari segi morfologinya, rumput laut tidak memperlihatkan adanya
perbedaan antara batang dan daun. Secara keseluruhan, tanaman ini mempunyai
morfologi yang mirip, walaupun sebenarnya berbeda. Bentuk-bentuk sebenarnya hanyalah thallus
belaka. Bentuk thallus rumput laut ada
bermacam-macam antara lain bulat seperti tabung, pipih, gepeng, bulat seperti
kantong dan rambut dan sebagainya.
Ciri-ciri Eucheuma cottonii adalah
thallus dan cabang-cabangnya berbentuk silindris atau pipih,
percabangannya tidak teratur dan kasar (sehingga merupakan lingkaran) karena
ditumbuhi oleh nodulla atau spine untuk melindungi gametan. Ujungnya
runcing atau tumpul berwarna coklat ungu atau hijau kuning. Spina Eucheuma
cottonii tidak teratur menutupi thallus dan cabang-cabangnya.
Permukaan licin, cartilaginous, warna hijau, hijau kuning, abau-abu atau
merah. Penampakan thallus bervariasi dari bentuk sederhana sampai
kompleks (Indonetwork, 2007).
2.1.3 Metode Budidaya Rumput Laut
Menurut
(Puslitbangkan, 1991), Secara umum di Indonesia, budidaya rumput laut dilakukan
dalam tiga metode penanaman berdasarkan posisi tanaman terhadap dasar perairan.
Ketiga budidaya tersebut dijelaskan sebagai berikut:
a. Metode Dasar (bottom method)
Penanaman dengan
methode ini dilakukan dengan mengikat bibit tanaman yang telah dipotong pada
karang atau balok semen kemudian disebar pada dasar perairan. Metode dasar merupakan
metode pembudidayaan rumput laut dengan menggunakan bibit dengan berat
tertentu.
b.
Metode Lepas Dasar (off-bottom method)
Metode ini dapat
dilakukan pada dasar perairan yang terdiri dari pasir, sehingga mudah untuk
menancapkan patok/pancang. Metode ini sulit dilakukan pada dasar perairan yang
berkarang. Bibit diikat dengan tali rafia yang kemudian diikatkan pada tali
plastik yang direntangkan pada pokok kayu atau bambu. Jarak antara dasar
perairan dengan bibit yang akan dilakukan berkisar antara 20-30 cm. Bibit yang
akan ditanam berukuran 100-150 gram, dengan jarak tanam 20-25 cm. Penanaman
dapat pula dilakukan dengan jaring yang berukuran yang berukuran 2,5x5 m2
dengan lebar mata 25-30 cm dan direntangkan pada patok kemudian bibit rumput
laut diikatkan pada simpul-simpulnya.
c.
Metode Apung (floating method)/ Longline
Metode ini cocok untuk
perairan dengan dasar perairan yang berkarang dan pergerakan airnya di dominasi
oleh ombak. Penanaman menggunakan rakitrakit dari bambu sedang dengan ukuran tiap
rakit bervariasi tergantung dari ketersediaan material, tetapi umumnya 2,5x5 m2
untuk memudahkan pemeliharaan.
2.2 Parameter Kualitas Air
Keberhasilan
budidaya rumput laut dengan pemilihan lokasi yang tepat merupakan salah satu
faktor penentu. Gambaran tentang biofisik air laut yang diperlukan untuk
budidaya rumput laut penting diketahui agar tidak timbul masalah yang dapat
menghambat usaha itu sendiri dan mempengaruhi mutu hasil
yang
dikehendaki.
Lokasi
dan lahan budidaya untuk pertumbuhan rumput laut jenis Eucheuma di
wilayah pesisir dipengaruhi oleh berbagai faktor ekologi oseanografis yang
meliputi parameter lingkungan fisik, biologi dan kimiawi perairan (Deptan, 1992).
2.2.1 Parameter Fisika
a. Suhu
Secara umum suhu perairan nusantara
mempunyai perubahan suhu baik harian maupun tahunan, biasanya berkisar antara
27°C – 32ºC dan ini tidak berpengaruh terhadap kegiatan budidaya. Kenaikan suhu
mempercepat reaksi-reaksi kimia, kenaikan suhu 10ºC akan melipat gandakan
kecepatan reaksi. Pada kondisi tertentu, suhu permukaan perairan dapat mencapai
35 ºC atau lebih besar (Romimohtarto, 2003).
Kenaikan temperatur yang tinggi
mengakibatkan thallus rumput laut menjadi pucat kekuning-kuningan yang
menjadikan rumput laut tidak dapat tumbuh dengan baik. Oleh karena itu suhu
perairan yang baik untuk budidaya rumput laut adalah 20-28°C dengan fluktuasi
harian maksimum 4°C (Deptan, 1992).
b. Kecepatan Arus
Adanya
arus di laut disebabkan oleh perbedaan densitas masa air laut, tiupan angin
terus menerus diatas permukaan laut dan pasang-surut terutama di daerah pantai.
Pasang surut juga dapat menggantikan air secara total dan terus menerus
sehingga perairan terhindar dari pencemaran (Winanto, 2004).
Untuk menghindari kerusakan fisik sarana
budidaya maupun rumput laut dari pengaruh angin topan dan ombak yang kuat, maka
diperlukan lokasi yang terlindung dari hempasan ombak sehingga diperairan teluk
atau terbuka tetap terlindung oleh karang penghalang atau pulau di depannya
untuk budidaya rumput laut (Deptan, 1992).
Arus mempunyai pengaruh positif dan
negatif bagi kehidupan biota perairan. Arus dapat menyebabkan ausnya jaringan
jazad hidup akibat pengikisan atau teraduknya substrat dasar berlumpur yang
berakibat pada kekeruhan sehingga terhambatnya fotosintesa. Pada saat yang
lain, manfaat dari arus adalah menyuplai makanan, kelarutan oksigen, penyebaran
plankton dan penghilangan CO2 maupun sisa-sisa produk biota laut.
Kenyataan yang tidak dapat ditoleransi terhadap kuat maupun lemahnya arus akan menghambat
kegiatan budidaya. Arus juga sangat penting dalam sirkulasi air, pembawa bahan
terlarut dan padatan tersuspensi, serta dapat berdampak pada keberadaan
organisme penempel. Kecepatan arus perairan untuk budidaya rumput laut 20 - 30
cm/dt (Vivi dan Parwata, 2007)
c. Kecerahan
Rumput laut memerlukan substrat sebagai
tempat menempel biasanya pada karang mati, moluska, pasir dan lumpur.
Kejernihan air kira-kira sampai 5 meter atau batas sinar matahari bisa menembus
air laut. Tempat hidup Chlorophyceae umumnya lebih dekat dengan pantai,
lebih ke tengah lagi Phaeophyceae, dan lebih dalam alga Rhodophyceae.
Pengukuran kedalaman secara umum untuk rumput laut yang baik adalah pada waktu
air surut. Pada waktu air surut, kedalaman rumput laut berada pada kedalaman 30
– 50 cm dari permukaan laut.
Tingkat
kecerahan yang tinggi diperlukan dalam budidaya rumput laut. Hal ini
dimaksudkan agar cahaya penetrasi matahari dapat masuk kedalam air. Intensitas
sinar yang diterima secara sempurna oleh thallus merupakan faktor utama
dalam proses fotosintesis. Kondisi air yang jernih dengan tingkat transparansi
tidak kurang dari 5 meter cukup baik untuk pertumbuhan rumput laut (Deptan, 1992).
d. Kedalaman Air
Kedalaman air yang baik untuk
pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah antara 2-15 m pada saat surut
terendah untuk metode apung. Hal ini akan menghindari rumput laut mengalami
kekeringan karena terkena sinar matahari secara langsung pada waktu surut
terendah dan memperoleh (mengoptimalkan) penetrasi sinar matahari secara
langsung pada waktu air pasang (Ditjenkan Budidaya, 2005).
Rumput laut sangat membutuhkan sinar
matahari untuk melangsungkan proses fotosintesa. Banyaknya sinar matahari ini
sangat dipengaruhi oleh kecerahan air laut. Supaya kebutuhan sinar matahari
tersedia dalam jumlah yang optimal maka harus diatur kedalaman dalam
membudidayakannya. Kedalaman idealnya adalah berada 30 - 50 cm dari permukaan
air. Proses fotosintesa rumput laut tidak hanya dipengaruhi oleh sinar matahari
saja, tetapi juga membutuhkan unsur hara dalam jumlah yang cukup baik makro
maupun mikro. Unsur hara ini banyak didapatkan dari lingkungan air yang diserap
langsung oleh seluruh bagian tanaman (Sucipto, 2005)
Dasar perairan yang paling baik untuk
pertumbuhan Eucheuma cottonii adalah yang stabil terdiri dari patahan karang
mati (pecahan karang) dan pasir kasar serta bebas dari lumpur,dengan
gerakan air (arus) yang cukup 20-40 cm/detik (Ditjenkan Budidaya, 2005).
2.2.2 Parameter Kimia
a. pH
Derajat keasaman menunjukan aktifitas
ion hidrogen dalam larutan tersebut dan dinyatakan sebagai konsentrasi ion
hidrogen (mol/l) pada suhu tertentu atau pH = - log (H+). Konsentrasi pH
mempengaruhi tingkat kesuburan perairan karena mempengaruhi kehidupan mikro dan
makro alga dalam suau peraiaran teruama rumput laut (Ghufron dan Kordi, 2005).
pH air laut umunya berkisar antara 7.6 –
8.3, pH air laut relatif konstan karena adanya penyangga dari hasil
keseimbangan karbon dioksida, asam karbonat, karbonat dan bikarbonat yang
disebut buffer. Nilai pH, biasanya dipengaruhi oleh laju fotosintesa, buangan
industri serta limbah rumah tangga (Sastrawijaya, 2000).
b. Salinias
Rumput
laut tumbuh pada salinitas yang tinggi. Penurunan salinitas akibat air tawar
yang masuk akan menyebabkan pertumbuhan rumput laut menjadi tidak normal. Salinitas
yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut sebaiknya jauh dari mulut muara
sungai. Salinitas yang dianjurkan untuk budidaya rumput laut Eucheuma
cottonii adalah 28- 35 ppt (Ditjenkan Budidaya, 2005).
Salinitas di perairan dipengaruhi oleh
penguapan dan jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan
yang turun di suatu perairan kurang yang menyebabkan penguapan tinggi.
Sebaliknya, jika curah hujan tinggi maka penguapan berkurang dan salinitas
menjadi rendah. Salinitas perairan berperan penting bagi organisme laut
terutama dalam mengatur tekanan osmose yang ada dalam tubuh organisme
dengan cairan lingkungannya. Mekanisme osmoregulasi pada alga dapat
terjadi dengan menggunakan asam amino atau jenis-jenis karbohidrat (Dawes
1981).
c.
Oksigen Terlarut (DO)
Perairan yang terbuka, oksigen terlarut
berada pada kondisi alami, sehingga jarang dijumpai kondisi perairan terbuka
yang miskin oksigen. Walaupun pada kondisi terbuka, kandungan oksigen perairan
tidak sama dan bervariasi berdasarkan siklus, tempat dan musim. Kadar oksigen
terlarut juga berfluktuasi secara harian, musiman, pencampuran massa air, pergerakan
massa air, aktifitas fotosintesa, respirasi dan limbah yang masuk ke badan air
(Effendi, 2003).
Variasi oksigen terlarut dalam air biasanya
sangat kecil sehingga tidak menggangu kehidupan ikan (Brotowidjoyo, 1995).
Keberadaan oksigen di perairan sangat penting terkait dengan berbagai proses
kimia biologi perairan. Oksigen diperlukan dalam proses oksidasi berbagai
senyawa kimia dan respirasi berbagai organisme perairan (Dahuri, 2004).
2.2.3 Parameter
Biologi
Sebaiknya untuk perairan budidaya Eucheuma dipilih
perairan yang secara alami ditumbuhi oleh komonitas dari berbagai makro algae
seperti Ulve, Caulerpa, Padina, Hypnea dan lain-lain, dimana hal ini
merupakan salah satu indikator bahwa perairan tersebut cocok untuk budidaya Eucheuma.
Kemudian sebaiknya bebas dari hewan air lainnya yang besifat herbivora
terutama ikan baronang yang dapat memakan tanaman budidaya (Deptan, 1992).
III. MATERI DAN
METODE PRAKTEK
3.1 Waktu dan
Tempat
Kegiatan
Praktek Lapang Mata Kuliah Pengelolaan Budidaya
Wilayah Pesisir dan Laut dilaksanakan
pada hari Senin, 26 Desember 2011
dimulai pada pukul 09.00 WITA sampai dengan selesai, dan bertempat di
Kelurahan Panau, Kecamatan Palu Utara, Palu, Sulawesi Tengah.
3.2 Alat dan
Bahan
Alat yang
digunakan dalam kegiatan Praktek
Lapang Pengelolaan Budidaya Wilayah Pesisir dan Laut adalah,
sebagai berikut :
-
Layang-layang Arus -
Stopwatch
-
Perahu -
Secchi disck
-
Botol -
Refractometer
-
Pipet tetes -
Thermometer
-
Kamera -
pH Meter
-
Alat Tulis Menulis -
DO Meter
Bahan
yang digunakan adalah :
-
Air Laut/Sampel
-
Air Mineral
3.3 Prosedur Kerja
3.3.1
Rumput
Laut
Prosedur kerja pada Praktek Lapang Pengelolaan Budidaya Wilayah
Pesisir dan Laut mengenai Rumput Laut, adalah sebagai berikut :
-
Melakukan
wawancara dengan pemilik budidaya rumput laut di Kelurahan Panau.
-
Mengamati keadaan rumput laut yang ada di perairan
Kelurahan Panau.
-
Mencatat
hasil wawancara.
1.3.2
Pengukuran
Parameter Kualitas Air
1.3.2.1
Parameter
Fisika
a.
Suhu
-
Sebelum melaksanakan
pengukuran maka terlebih dahulu mencari lokasi pengamatan dengan menggunakan
perahu sebagai alat transportasinya. Kemudian menentukan titik lokasi
pengamatan.
- Kemudian menurunkan pangkal thermometer kedalam
perairan.
- Setelah
beberapa menit kemudian, mencatat suhu yang telah ditunjukan pada thermometer, dengan cara melihat garis
merahnya.
- Pengukuran
suhu dilakukan sebanyak 10 kali atau 1
kali dalam 1 jam.
b.
Kecepatan
Arus
-
Sebelum melaksanakan
pengukuran maka terlebih dahulu mencari lokasi pengamatan dengan menggunakan
perahu sebagai alat transportasinya.
Kemudian menentukan titik lokasi pengamatan.
-
Melepaskan layang-layang
arus ke perairan dan membiarkannya terapung dan dibawah arus hingga tali
pengulur lurus secara horizontal.
- Mencatat waktu awal pelesan
layang-layangan arus hingga waktu akhir tali lurus secara horizontal dengan
menggunakan stopwatch.
- Pengukuran kecepatan arus dilakukan
sebanyak 10 kali atau 1 kali dalam 1
jam.
c.
Kecerahan
- Sebelum
melaksanakan pengukuran maka terlebih dahulu mencari lokasi pengamatan dengan
menggunakan perahu sebagai alat transportasinya. Kemudian menentukan titik lokasi
pengamatan.
-
Menurunkan secchi disck ke
perairan hingga kedalaman tertentu.
Kemudian Mengamati secchi disck
hingga tidak nampak kelihatan dan mencatatnya.
- Pengukuran
kecerahan dilakukan sebanyak 10 kali atau
1 kali dalam 1 jam.
d. Kedalaman Air
-
Sebelum melaksanakan pengukuran maka terlebih dahulu mencari lokasi pengamatan
dengan menggunakan perahu sebagai alat transportasinya. Kemudian menentukan titik lokasi pengamatan.
- Menurunkan alat secchi disck hingga sampai ke dasar perairan. Kemudian memberikan tanda tali yang telah
sampai ke dasar perairan.
- Mengukur
panjang tali secchi disck Kemudian
mencatat hasil panjang tali.
- Pengukuran kedalaman
air dilakukan sebanyak 10 kali atau 1
kali dalam 1 jam.
3.3.2.2
Parameter kimia
a.
pH
- Sebelum melaksanakan pengukuran maka
terlebih dahulu mencari titik lokasi stasiun pengamatan dengan menggunakan
perahu sebagai alat transportasinya.
Kemudian menentukan titik lokasi stasiun pengamatan.
- mengambil air sampel dari laut,
kemudian memasukannya kedalam gelas aqua.
- mencuci ujung pH meter dengan air
mineral, dan Menghidupkan on/off pada pH meter, kemudian mencelupkan pH meter
pada air sampel dan menunggu sejenak hingga hasil pengukuran pH tidak berubah.
- Mencatat hasil pengukuran pH.
- Pengukuran pH air dilakukan sebanyak
10 kali atau 1 kali dalam 1 jam.
b.
Salinitas
-
Pada saat di titik lokasi mengambil air sampel perairan ke dalam botol Kemudian menutup botol dan memberi label
sesuai dengan waktu yang dilakukan.
-
Pada saat di Laboraturium membuka tutupan botol dan mengambil air sampel (air
laut) dengan menggunakan pipet tetes. Kemudian menuangkannya kedalam Refractometer.
-
Melihat hasil pengukuran salinitas pada Refractometer, dengan cara melihat garis yang berada
diantara warna biru dengan putih yang berada di sebelah kanan, dan mencatat
hasil pengukuran tersebut.
-
Pengukuran saliitas dilakukan sebanyak 10 kali atau 1 kali dalam 1 jam
c. Oksigen Terlarut (DO)
-
Sebelum melaksanakan pengukuran maka terlebih dahulu mencari titik lokasi
stasiun pengamatan dengan menggunakan perahu sebagai alat transportasinya. Kemudian menentukan titik lokasi stasiun
pengamatan.
-
Pada saat di titik lokasi mengambil air sampel (air laut) kedalam botol dengan
hati-hati agar tidak terjadi gelembung udara.
Kemudian menutup kembali botol yang telah terisi air sampel untuk di
jadikan bahan pengukuran DO di Laboraturium.
-
Pada saat di Laboraturium membuka tutupan botol. Kemudian
mengecok ke alat pembaca DO dan menghidupkan on/off pada DO meter.
-
Mencelupkan DO meter kedalam botol dan menunggu sejenak hingga hasil pengukuran
DO tidak berubah.
- Mencatat hasil pengukuran DO.
-
Pengukuran DO dilakukan sebanyak 10 kali atau
1 kali. dalam 1 jam.
3.4 Analisa Data
Anlisa data
praktek lapang pengelolaan budidaya wilayah pesisir dan laut pada budidaya
rumput laut tentang kecepatan arus. adalah, sebagai berikut :
Rumus Kecepatan
arus menggunakan persamaan :
V =
Dimana V = Kecepatan Arus (m/s)
S = Panjang Tali (m)
t = Waktu (s)
IV. HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Gambaran Umum Rumput
Laut
Berdasarkan
hasil praktek lapang Pengelolaan Budidaya Wilayah Pesisir dan Laut yang
dilaksanakan di kelurahan Panau
diketahui bahwa di kelurahan tersebut terdapat kegiatan budidaya rumput laut
jenis Eucheuma cottonii. Kegiatan budidaya rumput laut ini dijalankan
oleh seorang pembudidaya bernama Pak Lakome, bapak beserta kelurganya telah
melakukan kegitan budidya ini selama bertahun-tahun. Hasil pengamatan, wawancara dan pengukuran
parameter kualitas air yang telah dilakukan
pada budidaya rumput laut di kelurahan
panau, dapat hidup dengan baik. Hal
ini disebabkan karena faktor-faktor yang mendukung untuk kegiatan budidaya
masih dalam keadaan stabil.
Menurut Angggadireja
(2006), untuk mendapatkan hasil rumput
laut Eucheuma cottonii yang
berkualitas maka perlu memperhatikan beberapa faktor Penting Yang Dalam
Budidaya Eucheuma cottonii yaitu pemilihan lokasi yang sesuai
dengan persyaratan budidaya eucheuma cottonii, penyediaan bibit yang baik dan sehat, metode penanaman yang efektif/efisien, pemeliharaan dan perawatan
yang teratur, dan panen (usia dan penyimpanan hasil) yang baik.
Bibit rumput laut merupakan salah satu
faktor utama yang harus diperhatikan dalam budidaya rumput laut, karena kalau
bibit yang digunakan tidak bagus maka pertumbuhannya juga akan tidak bagus.
Salah satu ciri bibit yang baik adalah memiliki thallus yang banyak dan umurnya
masih muda. Bibit yang digunakan oleh pak Lakome umumnya berasal dari Lalombi.
Selain dari Lalombi pak Lakome terkadang juga menggunakan bibit hasil budidaya
sendiri. Bibit yang digunakan berumur kurang lebih 1 bulan. Kemudian bibit
diikat dengan tali rapiah yang telah diikat ditali nylon yang panjangnya
mencapai 25 meter, masing-masing seberat 100-200 gr, dengan jarak pertanam
yaitu 20-23 cm. Bibit yang sudah diikat, kemudian dibawa ke lokasi budidaya dengan menggunakan perahu dan dibentangkan.
Pada prinsipnya ada 3 metode budidaya
rumput laut, yaitu : metode apung, metode dasar dan metode tali rentang. Metode
yang digunakan oleh pak Lakome adalah metode tali rentang (long line) dengan ukuran 25 x 25 meter. Dalam budidaya rumput laut
harus dilakukan pengontrolan untuk menghindari hal-hal yang dapat mengganggu
kegiatan budidaya, salah satunya melakukan perawatan dengan cara
menggoyang-goyangkan bentangan rumput laut, supaya organisme dan lumpur yang
menempel pada rumput laut dapat terlepas. Sehingga tidak menganggu rumput laut
dalam proses fotosintesis dan pengambilan oksigen terlarut dari dalam perairan.
Rumput laut yang sudah berumur 45 hari
dapat dipanen, kemudian dikeringkan, dengan tingkat kekeringan yaitu sekitar
65%. Rumput laut yang sudah dipanen dapat dijual dalam bentuk basah maupun
kering tergantung konsumen. Harga perkilo gram untuk yang kering berkisar
antara Rp. 10.000 – Rp.15.000, sedangkan yang basah berkisar anatara Rp.1500 –
Rp.2000. untuk pemasarannya biasanya konsumen datang sendiri ke lokasi
budidaya, biasa dibawa ke tempat pengumpul di Lalombi, morowali, dan jawa.
4.2
Parameter Kualitas air
Berdasarkan Hasil Praktek Lapang
Pengelolaan Budidaya Wilayah Pesisir dan Laut mengenai Budidaya Rumput Laut di Kelurahan Panau,
sebagai berikut :
4.2.1
Parameter Fisika
a. Suhu
Hasil praktek lapang didapatkan bahwa tingginya suhu
perairan berkisar antara 25 - 29 °C. Suhu tertinggi, yaitu 29oC terjadi pada pukul 10.00 dan
15.00 WITA. Sedangkan suhu terendah, yaitu 25 °C terjadi pada pukul
11.00 WITA. Terjadinya perbedaan suhu diperairan disebabkan karena panasnya
cahaya matahari yang mengenai permukaan perairan sehingga mempengaruhi
suhu perairan. Selain itu dapat
disebabkan karena terjadinya perubahan cuaca yaitu awan mendung dan turunnya
hujan sehingga panas
matahari yang masuk ke peraiaran berkurang. Hal ini sesuai dengan
pernyataan Nontji (2002). Perbedaan suhu terjadi karena adanya perbedaan
energi matahari yang diterima oleh perairan. Suhu akan naik dengan meningkatkan
kecepatan fotosintesis sampai pada radiasi tertentu. Kecepatan fotosintesis
akan konstan pada produksi maksimal, tidak tergantung pada energi matahari lagi
sampai pada reaksi mengenzim.
Suhu
perairan di kelurahan Panau tergolong
baik bagi pertumbuhan rumput laut yaitu berkisar 25 – 29 oC sehingga
perairan ini baik digunakan sebagai lokasi budidaya rumput laut. Hal ini sesuai dengan pendapat Widodo dan
Suadi (2006), Rumput
laut hidup dan tumbuh pada perairan dengan kisaran suhu air antara 20–280C,
namun masih ditemukan tumbuh pada suhu 31oC.
b. Kecepatan Arus
Gerakan air selain berfungsi untuk
mensuplai zat hara juga membantu memudahkan rumput laut menyerap zat hara,
membersihkan kotoran yang ada, dan melangsungkan pertukaran CO2 dan
O2 sehingga kebutuhan oksigen tidak menjadi masalah. Penyerapan zat
hara dilakukan melalui seluruh bagian tanaman, selama ini ketersediaan zat hara
tidak menjadi faktor penghambat pertumbuhan tanaman. Hal ini berarti zat hara
yang ada di laut masih cukup, bahkan berlebihan untuk kebutuhan rumput laut
karena adanya sirkulasi yang baik, run-off dari darat dan gerakan air
(Indriani dan Sumiarsih 1991).
Arus dan ombak yang berkekuatan besar
dapat menyebabkan kerusakan pada tanaman seperti patah, atau terlepas dari
substratnya. Selain itu penyerapan zat hara dapat terhambat karena belum sempat
diserap telah dibawa kembali oleh arus. Arus dan ombak yang besar di perairan
pantai juga menyebabkan perairan menjadi keruh sehingga mengganggu proses
fotosintesis tanaman. Kecepatan arus selama praktek berkisar 0.044 – 0.192 m/detik.
Lanjut dikatakan oleh Winarno (1996), Gerakan kecepatan arus air
yang cukup akan akan memberikan dampak positif dimana rumput laut Eucheuma cottonii akan memperoleh makanan melalui
aliran air yang melewatinya dan mampu menghindari terkumpulnya kotoran pada
thallus, membantu pengudaraan, dan mencegah adanya fluktuasi yang besar
terhadap salinitas maupun suhu air.
Berdasarkan hasil praktek yang
didapatkan pada budidaya rumput laut di kelurahan Panau, di dapatkan kecepatan Arus di perairan
tersebut berkisar 0.044 m/s
– 0.192 m/s, dimana kecepatan arus terendah terjadi pada pukul 12.00 yaitu 0.044
cm/s dan
kecepatan arus tertinggi terjadi pada pukul 10.00 yaitu 0.192 cm/s. Tingginya kecepatan arus pada
pukul 10.00 WITA disebabkan karena adanya pengaruh pergerakan tekanan angin yang
kencang sehingga kecepatan arus semakin cepat.
Sedangkan rendahnya kecepatan arus pada pukul 12.00 disebabkan karena
kurangnya tekanan angin. Pada pukul 15.00 Wita terjadi
kenaikan kecepatan arus yang drastis di perairan dengan waktu kecepatan arus 0.175
m/s, disebabkan pengaruh badai dan tekanan angin yang kencang sehingga dapat
menyebabkan bertambahnya kecepatan arus perairan.
c.
Kecerahan
Hasil praktek
didapatkan tingkat kecerahan perairan tertinggi pada pukul 09.00 yaitu 9 m. Tingkat
kecerahan perairan terendah pada pukul 10.00 – 11.00 yaitu 5 m. Perbedaan kecerahan terjadi karena disebabkan
kemampuan cahaya matahari yang masuk kedalam perairan yang dipengaruhi oleh
kekeruhan air dari benda-benda halus yang tersuspensi seperti lumpur dan adanya
jasad-jasad renik (plankton) dalam suatu perairan. Sedangkan rendahnya tingkat kecerahan terjadi
pada pukul 10.00 - 11.00 sedalam 5 meter disebabkan karena terjadinya perubahan
cuaca yaitu awan mendung yang sangat gelap sehingga tidak ada cahaya yang masuk
kedalam perairan.
Menurut Kordi (2007), kecerahan adalah sebagian cahaya yang
diteruskan kedalam air dan dinyatakan dalam persen (%) dari beberapa panjang
gelombang didaerah spektrum yang terlihat cahaya yang melalui lapisan sekitar 1
meter, jauh agak lurus dari permukaaan air.
Kemampuan cahaya matahari untuk menembus sampai kedasar perairan
dipengaruhi oleh kekeruhan (turbidity)
air. Kekeruhan dipengaruhi oleh
benda-benda halus yang disuspensikan, seperti lumpur dan sebagainya, adanya
jasad-jasad renik (plankton), dan warna air.
Tingkat kecerahan perairan di kelurahan
Panau tergolong baik untuk kegiatan budidaya rumput laut yaitu berkisar 5 – 9
meter. Hal ini sesuai pendapat
Menurut Bazzar (2011), rumput laut
memerlukan cahaya matahari sebagai sumber energi guna pembentukan bahan organik
yang diperlukan untuk pertumbuhan dan perkembangannya yang normal. Kecerahan
perairan yang ideal lebih dari 1 (satu) m.
Air yang keruh biasanya mengandung lumpur yang dapat menghalangi
tembusnya cahaya matahari untuk berfotosintesis, sehingga kotoran dapat
menutupi permukaan thallus, yang akan mengganggu pertumbuhan menghambat
penyerapan makanan, dan perkembangannya.
d.
Kedalaman
Hasil praktek lapang yang didapatkan
mengenai tingkat kedalaman budidaya rumput laut di kelurahan Panau berkisar antara
6 – 21 meter. Tingkat kedalaman tertinggi terjadi pada pukul 12.00 WITA. Dengan
tingkat kedalaman 21 meter, tingkat kedalaman terendah terjadi pada pukul 10.00
WITA dengan tingkat kedalaman 6 meter.
Lanjut dikatakan ambas (2006), kedalaman yang ideal untuk pemeliharaan rumput
laut / pesisisr, berkisara antara pada saat 30 – 50 cm pada surut terendah. Hal
ini dimaksudkan supaya rumput laut tidak mengalami kekeringan pada saat
terjadinya surut terendah dan tidak terkena matahari secara langsung dan masih
memperoleh penetrasi sinar matahari pada saat pasang.
Perbedaan tingkat kedalaman perairan
dapat disebabkan karena air laut mengalami pasang surut. Selain itu, lokasi
dalam pengambilan data kedalaman berbeda-beda karena disebabkan oleh adanya
pengaruh ombak pada saat pengambilan data, perahu yang dipakai ikut arus.
Faktor
kedalaman berhubungan dengan salinitas dengan stratifikasi suhu secara
vertikal, penetrasi cahaya, densitas, kandungan oksigen dan unsur-unsur hara.
Pada kedalaman antara 0 – 30 cm dan 60 – 200 cm. Perumbuhan rumput laut masih
dapat berlangsung cukup baik, terutama untuk rumput laut jenis Eucheuma
cottonii (Surachmat, 2007).
4.2.2 Parameter Kimia
a. pH
Hasil praktek
pengolahan budidaya pesisir dan laut didapatkan bahwa kadarpH pada perairan
kelurahan Panau berkisar 7.4 – 7.9.
Melihat nilai pH pada perairan desa Panau dapat digolongkan baik untuk
kegiatan budidaya rumput laut. Menurut
Soesono (1988), derajat keasaman merupakan faktor lingkungan kimia air yang
berperan dalam pertumbuhan dan perkembangan rumput laut. pengaruh bagi rumput
laut sangat besar dan penting, kisaran
pH yang kurang dari 6,5 akan menekan laju pertumbuhan bahkan tingkat
keasamannya dapat mematikan dan tidak ada laju reproduksi sedangkan pH 6,5 – 9
merupakan kisaran yang optimal budidaya rumput laut Eucheuma cottoni dalam
suatu perairan.
Air laut mempunyai kemampuan menyangga
yang sangat besar untuk mencegah perubahan pH. Perubahan pH sedikit saja dari
pH alami akan memberikan petunjuk terganggunya sistem penyangga. Hal ini dapat
menimbulkan perubahan dan ketidak seimbangan kadar CO2 yang dapat membahayakan
kehidupan biota laut. pH air laut permukaan di Indonesia umumnya bervariasi
dari lokasi ke lokasi antara 6.0 – 8,5. Perubahan pH dapat mempunyai akibat
buruk terhadap kehidupan biota laut, baik secara langsung maupun tidak
langsung. Akibat langsung adalah kematian ikan, burayak, telur, dan
lain-lainnya, serta mengurangi produktivitas primer. Akibat tidak langsung
adalah perubahan toksisitas zat-zat yang ada dalam air, misalnya penurunan pH
sebesar 1,5 dari nilai alami dapat memperbesar toksisitas NiCN sampai 1000
kali.
Perubahan pH selama penelitian relatif
kecil karena perairan mempunyai sistem penyangga terhadap perubahan ion yang
drastis. Dengan demikian maka pH air selama penelitian cukup baik dengan nilai
relatif stabil dan sesuai untuk budidaya rumput laut Eucheuma cottonii.
b. Salinitas
Hasil Praktek di
Laboratorium mengenai salinitas diperoleh hasil salinitas, yaitu 25- 33 ppt. Terjadinya perbedaan salinitas diperairan, dimana
rendahnya salinitas terjadi pada pukul 15.00 sebesar 25 ppt, disebabkan terjadi
hujan dimana air hujan merupakan air
tawar, sehingga salinitas perairan menurun, selain itu karena terjadinya
penggelembungan air karena disimpan dalam botol kecil. Lanjut dikatakan Kalther (2010), salinitas dipengaruhi oleh penguapan dan
jumlah curah hujan. Salinitas tinggi terjadi jika curah hujan yang turun di
suatu perairan kurang yang menyebabkan penguapan tinggi. Sebaliknya, jika curah
hujan tinggi maka penguapan berkurang dan salinitas menjadi rendah.
Salinitas perairan berperan penting bagi
organisme laut terutama dalam mengatur tekanan osmose yang ada dalam
tubuh organisme dengan cairan lingkungannya. Mekanisme osmoregulasi pada
alga dapat terjadi dengan menggunakan asam amino atau jenis-jenis karbohidrat.
Salinitas yang dikehendaki Eucheuma alvarezii berkisar 29 - 34 ppt,
sedangkan menurut Kadi dan Atmaja (1988) salinitas yang dikehendaki oleh Eucheuma
alvarezii berkisar antara 30 – 37 ppt. Berdasarkan hal ini, maka perairan di
kelurahan Panau sesuai untuk lokasi pembudidayaan rumput laut Eucheuma
cottonii.
c. Oksigen Terlarut (DO)
Hasil pengamatan
yang dilakukan di laboratorium perikanan mengenai nilai kandungan oksigen
terlarut pada budidaya rumput laut di kelurahan Panau, yaitu berkisar
antara 5.92 – 6.62 mg/l. kadar oksigen terlarut tertinggi, yaitu 6.62
mg/l terjadi pada pukul 17.00 WITA. Kadar oksigen terlarut terendah, yaitu 5,92
mg/l terjadi pada Pukul 09.00 WITA.
Terjadinya
perbedaan kadar oksigen terlarut diperairan disebabkan karena air sampel yang
diambil dari perairan terjadi penguapan didalam botol, selain itu diakibatkan
oleh fitoplankton pada malam hingga subuh hari tidak melakukan proses
fotosintesis, sehingga pada pagi hari kadar oksigen terlarut masih rendah. Peningkatan kadar oksigen terlarut baru
terjadi pada pukul 10.00 hingga pukul 17.00.
Hal ini dikarenakan adanya sinar matahari yang membantu fitoplankton
dalam proses fotosintesis. Hal ini sesuai dengan pendapat Effendi (2003), Sumber oksigen terlarut dapat
berasal dari difusi oksigen yang terdapat di atmosfer (35 %) dan aktivitas
fotosintesis oleh tumbuhan-tumbuhan air dan fitoplankton
Menurunnya kadar O2 terlarut dapat mengurangi efisiensi
pengambilan O2 oleh biota laut, sehingga dapat menurunkan kemampuan biota
tersebut untuk hidup normal dalam ling-kungannya. Kadar O2 terlarut di perairan
Indonesia berkisar antara 4,5 dan 7.0 ppm
V.
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1
Kesimpulan
Berdasarkan
kegiatan praktek lapang Teknologi Pengelolaan Budidaya Wilayah Pesisir dan Laut
di Kelurahan Panau, dapat ditarik beberapa kesimpulan, adalah sebagai berikut :
1.
Suatu
kegiatan budidaya dapat berhasil apabila memperhatikan beberapa factor,
misalnya : lokasi tempat budidaya, metode yang digunakan, dan factor kualitas
air.
2.
Perairan
kelurahan Panau banyak terdapat sampah, terutama sampah plastik.
3.
Perairan
kelurahan Panau merupakan salah satu lokasi yang cocok untuk kegiatan budidaya
rumput laut.
5.2
Saran
Sebagai
praktikan saya menyarankan agar untuk pengukuran kadar salinitas dan oksigen
terlarut (DO), dilakukan langsung pada lokasi budidaya rumput laut, sehingga
nilai yang kita dapat betul-betul sesuai dengan di perairan, karena belum
terjadi penguapan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar